42

12.7K 1.2K 35
                                    

Gika pulang lebih awal dari seharusnya. Sebenarnya ia masih punya banyak rencana, masih ingin rehat sejenak dari kehidupannya. Namun, ucapan Bara yang mengatakan sudah membiarkan Aric mendengarkan rekaman itu membuatnya tidak tenang.

Bukan liburan namanya, bukan healing, juga bukan proses menjernihkan pikiran, karena nyatanya dia benar-benar nyaris gila juga tidak bisa tidur karena terlalu kepikiran. Aric juga mendatangi Gauri, juga berarti mendatangi rumahnya, berani sekali pria itu menginjakkan kakinya disana setelah apa yang ia lakukan.

Maka pukul sepuluh pagi, dua jam setelah ia mendarat. Gika langsung meminta bertemu Aric. Ia hanya pulang ke rumah menyimpan barang-barangnya dan berganti baju.

"Gue ketemu di mall" buka Bara tanpa basa-basi karena Gika juga nampaknya tidak punya waktu untuk itu.

"Mall?"

Bara mengangguk "gue mau beli jam tangan yang pernah gue___

"Bar, gue gak peduli sama jam tangan lo!" Gika menatap Bara dengan melotot, agaknya sudah terlalu sering baginya mendengar Bara membeli jam tangan mewah sampai mendatangi mall sendirian. Itu sudah hal biasa dan Gika tidak tertarik untuk tau

"Gue bukan lo Gika, Aric harus tau kalau dia salah." Bara nampak tenang sekali di kursinya. Ia menyesap kopi hitamnya pelan

"Ini bukan supaya dia kembali. Tapi gue mau dia nyesel, dia salah, dan dia harus tau itu." Selama ini memang Gika yang menahan, ia bahkan tidak memberitahu orang tuanya secara detail mengapa Aric meminta cerai juga memulangkannya. Alasan disetujuinya perceraian itu atas dasar karena Aric merasa tidak layak dan Gika sebaiknya mencari yang lain. Meski Aric membawa serta rekaman itu dan meminta maaf seolah menginginkan perpisahan yang baik-baik. Gika juga sengaja tidak memberitahu orang tuanya soal ditemukannya Aksara dan rekaman itu.

Orang tuanya tau alasannya, tapi tidak sebanyak yang Gika tau.

Perpisahan baik-baik? Kalau baik kenapa pisah?

Gika hanya mau semuanya selesai. Bukankah hari itu ia sudah membujuk Aric, berniat berbicara baik-baik juga memberinya waktu untuk berfikir? Tapi memang pria itu duluan yang meminta selesai tanpa pertimbangan apapun. Dan Gika memutuskan tutup buku, pria itu memang salah. Dan Gika merasa cukup, orang-orang tidak perlu tau kesalahannya apa dan dimana.

Karena terlalu larut dalam euforia patah hati keduanya oleh orang yang sama dan di hajar habis oleh rasa sedih, Gika sampai lupa ia punya Bara di hidupnya.

Yang mungkin andai ia memintanya membunuh Aric, akan ia wujudkan.

"Tapi gue udah bilang gak usah Bar, dia sampe datengin mama." Bara mengangguk, ia tau itu. Karena Gauri juga menelpon memintanya menemui Aric dan memperingatinya untuk tidak menemuinya lagi.

"Yaudah Gika, dia juga bisa apa emangnya? Yang penting dia nyesel aja." Dan Bara mendapati Aric kemarin mengiriminya pesan permintaan maaf. Ia hanya tertawa, bisa-bisanya pria itu meminta maaf setelah ia pukuli wajahnya sampai luka-luka.

"Terus gimana kalau dia datengin gue?" Gika tidak mau terlalu percaya diri, tapi feeling-nya bilang begitu.

"Bilang ke gue, nanti gue kasi tau apa akibatnya muncul di depan muka lo." Gika memutar bola matanya. Dia tidak berani ke restoran sekarang. Fadil mengabarkan bahwa pemilik showroom depan restoran pernah datang mencarinya, itu jelas-jelas adalah Aric.

Terakhir kali melihatnya, Gika memutuskan ke Singapura karena begitu kepikiran. Dan Gika benci dirinya yang mungkin masih hingga detik ini-, ia tidak bisa benci Aric. Ia marah, sangat marah. Tidak ada keinginan untuk kembali dan mengulang semuanya dari awal, Gika tidak mau berfikir begitu dan akan ia pertahankan, tapi Gika tidak menyangka bahwa meski ia terpuruk akibat perceraian tidak masuk akal ini, ia tidak benci pada Aric.

BORN TO BE OVERLOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang