Aric kira, setelah menangis karena ulahnya waktu itu, Gika akan berubah. Seperti misalnya mengabaikannya, atau tidak mau mengurusnya lagi.
Tapi Gika tidak, dia masih ceria seperti biasa. Seperti hatinya tidak pernah sakit atas tingkah dan ucapan Aric. Selama beberapa hari ini, kesibukannya adalah duduk di sofa dengan laptopnya yang selalu ia bawa ke mana-mana. Dia masih mengurusi Aric, masih belajar pada pak Arman yang memberinya list kegiatan dan kebiasaan Aric. Jujur, itu membuat Aric tersentuh. Namun perlu di ingat dan di garis bawahi lagi, ia harus membuat perempuan itu menyerah, dia tidak boleh menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk orang sepertinya.
Aric sedang di kamar, duduk di kursi rodanya yang menghadap langsung ke jendela yang menampilkan tamannya yang terawat-, saat Gika masuk dan mengambil kursi untuk duduk di dekatnya.
Aric menoleh pada Gika yang memasang senyumnya, senyum yang agaknya mulai terbiasa Aric lihat meski dengan ekspresi datar.
"Apa?" Tanyanya karena Gika tak kunjung bicara, tapi melihat terus kearahnya.
"Kamu lagi ngapain?" Sepanjang Gika mengamati, Aric itu lumayan sering memegang tablet atau laptop. Tapi Gika tidak pernah tau dia sedang apa.
"Bukan urusan kamu" Gika mendengus mendengarnya, dasar Aric. Sudah kaku mirip kanebo, ucapannya tajam kayak cutter.
"Kamu kenapa sih kalo ngomong enggak bisa banget lembut-lembut?" Gika menyuarakan kekesalannya, dia selalu bertanya baik-baik. Aric saja yang terlalu angkuh.
"Mas Aric, kita kan temenan" ucapan Gika itu nyaris membuat Aric tertawa, tapi susah payah dia tahan.
"Saya enggak mau temenan sama kamu" Aric menjawab pasti.
"Kenapa?"
Namun Aric tidak mungkin jujur, bahwa itu harus ia lakukan karena tidak mau Gika terjebak bersamanya, bahwa dia masih muda dan punya jalan yang masih panjang, dan bahwa dia bisa dan pantas untuk mendapatkan yang lebih baik darinya.
"Karena kamu cerewet dan banyak nanya" jawab Aric, tidak sepenuhnya bohong juga. Gika ternyata cerewet sekali. Nyaris dua minggu serumah dengannya, Aric sudah menegurnya berkali-kali karena terlalu banyak tanya dan cerewet.
Tapi tegurannya tidak pernah mempan.
"Kalau aku diem, mas Aric juga diem, emang kita bisu apa?" Gika hanya sedang berusaha membangun komunikasi, karena Aric tidak ada upaya sama sekali untuk itu.
Gika dengan sengaja memajukan badannya, melewati bahu Aric demi agar bisa mengintip isi tablet Aric.
"Minggir" Aric mendorong kepalanya pelan, dan Gika menatap Aric sebal karena itu.
"Gika, Aric?" Salma masuk ke dalam kamar setelah mengetuk pintu.
"Mama ganggu?" Gika menggeleng, mempersilahkan Salma untuk masuk lebih dalam.
"Kamu jadi mau ke butik?" Oh, Salma mengajaknya ke butik untuk melihat-lihat baju, ada keluarga Aric yang akan menikah, mereka sedang mempersiapkan baju. Dari Salma, Gika tau kalau setiap ada acara keluarga, baju mereka selalu seragam.
Gika juga kebetulan ingin mencari dress yang cocok untuk menemani Bara si duta galau besok, ke acara nikahan mantan terindahnya. Gika di minta-sebenarnya di paksa- untuk ikut. Gika setuju, siapa tau saja disana Bara akan mengamuk, Gika bisa menjadi pawang.
"Jadi ma" Gika menoleh pada Aric yang masih fokus ke tabletnya.
Benar-benar ya kanebo satu ini.
"Mas, aku mau ke butik, pulangnya aku beliin pecel lele enak banget tau! Kamu harus coba!" Salma tertawa kecil melihat Gika berucap sangat antusias dalam satu kali tarikan nafas.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower