Aric memerhatikan Gika yang sedang merias dirinya di sofa. Seperti biasa, karena di dalam kamar tidak ada meja rias atau pun cermin. Gika tidak tau kenapa, tapi di kamar tidak ada cermin selain di kamar mandi. Tapi Gika malas berdandan di kamar mandi dengan posisi berdiri.
"Mau kemana?" Tiap hari memang dia berdandan, keluar rumah atau tidak, Gika sudah cerita sendiri kalau hobinya adalah merias wajahnya sendiri. Aric tidak pernah tanya sebelumnya, Gika yang selalu bilang tiap dia mau pergi. Tapi hari ini, melihat Gika berpakaian rapi dan ber-make up lebih lama dari biasanya, Aric penasaran dan Gika tidak inisiatif memberitahu.
"Cie kepo" jawab Gika cuek sembari tetap mengoleskan eye shadow pada matanya.
Wajar kalau Gika bilang begitu, Aric kan cuek padanya. Selama ini dia mau camping ke Amazon juga Aric tidak peduli.
"Kalau suami nanya jawab yang bener" Gika tertawa. Aric perasaan kemarin-kemarin masih gengsi.
"Aku mau ke kafe, ada tamu agung mau dateng." Gika berucap sembari membereskan peralatan make up nya.
"Nanti makan siangnya aku minta tolong bibi anterin kesini gak papa ya? Aku boleh pergi?" Kebiasaan Gika ya itu, izin setelah selesai bersiap. Aric juga mau melarang sudah percuma.
"Sebelum ada kamu saya memang dianterin makanan kesini" balas Aric, dia tidak bermaksud apa-apa. Tapi Gika menanggapi nya dengan lain. Dan Aric menangkap itu, ekspresi Gika berubah sedih.
"Aku__
"Saya cuma ngasih tau, maksud saya kamu enggak usah khawatir." Gika mengangguk, ia kembali tersenyum lalu mendekat ke Aric. Mengecup kedua pipinya bergantian seperti ibu yang hendak pamit pada anaknya.
"Kapan-kapan kamu mau nggak kalau aku ajak ke kafe?" Gika berlutut di depan Aric yang sedang sibuk meredakan debaran jantungnya akibat ulah Gika barusan.
Aric tidak tau, dia memang sudah tidak pernah keluar dan kemanapun selain rumah sakit untuk terapi. Tapi binar mata Gika yang menatapnya seperti membuatnya tidak tega untuk Aric tolak.
"Iya" jawabnya meski tidak yakin, Gika bersorak senang, berdiri sebelum kakinya pegal kemudian mengambil tasnya juga merapikan sekali lagi rambutnya.
"Siapa yang mau dateng?"
"Aku ceritain deh" Gika kembali pada Aric lagi, dia yang memang banyak bicara memang selalu membagikan informasi apapun pada Aric meski tidak penting dan jarang di tanggapi.
Aric menatap Gika dengan terkejut ketika istrinya itu malah duduk di pangkuannya, dan rasanya Aric seperti kehilangan kemampuan untuk menolaknya. Dia membiarkan Gika duduk diatas pahanya.
"Capek duduk di bawah" ucap Gika karena Aric menatapnya tanpa berkedip.
"Jadi gini, mama tuh punya temen, dia rencana mau jodohin sepupu aku sama anak temennya ini. Mama ku sama aku sama temennya udah atur pertemuan mereka di kafe ini, soalnya sepupu aku ini umurnya udah tiga puluhan lebih tau, tapi dia pacaran aja gak pernah. Aku jadi curiga dia enggak normal" ucapan Gika yang terakhir terdengar seperti mengomel.
"Kamu pernah pacaran?" Itu sebenarnya tidak nyambung dengan topik yang sedang Gika bahas. Tapi Aric penasaran. Gika bukan terkejut karena pertanyaan Aric barusan, namun pergerakan tangan Aric yang memeluk pinggangnya membuat Gika seperti tidak bisa mengalihkan pandangannya dari kedua mata Aric yang sedari tadi tidak lepas memandangi wajah Gika tiap jengkalnya.
"Aku pernah pdkt, enggak sampe jadian. Cowoknya kepincut sama cewek lain" ucap Gika lagi. Dulu di masa kuliah, dia pernah suka dan kebetulan di respon oleh salah satu senior di kampusnya. Mereka sempat intens berkomunikasi juga jalan berdua, tapi cuma sampai sana karena si pria ini berpindah hati ke yang lain. Gika sempat sedih sih, sedih karena tidak di pilih. Tapi itu tidak lama dan hanya masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower