21

8.5K 734 19
                                    

Aric terbangun dari tidurnya di jam sembilan pagi. Ini mungkin menjadi pertama kalinya lagi setelah sekian lama dia bangun seterlambat ini. Biasanya, meski semalaman kakinya sakit sampai rasanya lebih baik mati saja-, ia akan tetap bangun di jam biasanya.

Pertama kali yang di lihatnya adalah Salma, yang langsung mengusap wajahnya dengan tangannya yang terasa dingin di kulit Aric. ada Mahendra yang juga memanggil pelan namanya, tapi tidak ada Gika.

"Gika mana?" Suara Aric terdengar serak, jantungnya berdetak agak lebih kencang karena tidak mendapati Gika sejauh matanya memandang.

Kemana? Menyerah kah dia setelah semalam melihatnya begitu lemah dan tidak berdaya? Atau dia pergi karena telah menyadari bahwa sekecil itu kemungkinan untuk sembuh?

"Ada, kamu gimana nak? Masih sakit?" Mahendra mengusap bahu Aric. Kalau bukan ia yang memaksa Gika jujur semalam, mana mungkin dia disini. Karena Aric begitu sok kuat dengan tidak ingin menunjukkan diri ketika dia sedang berada di titik paling bawahnya. Aric seolah tidak tau bahwa bagaimana pun dia, keluarganya tidak akan pernah kemana-mana. Sudah berulang ulang kali ia nasehati, tapi Aric memang bebal kalau soal itu.

"Gika mana ma?" Aric menghiraukan pertanyaan ayahnya, kalau memang Gika sudah menyerah. Sebaiknya tidak usah di sembunyikan, tidak usah mengulur waktu karena ia memang sudah siap akan resikonya.

Salma belum sempat menjawab ketika pintu terbuka, Gika muncul dari sana. Penampilannya lebih segar dan lebih rapi, karena Salma memang memintanya untuk pulang tadi. Mandi, merapikan diri, juga istirahat dan makan. Salma tidak mau Gika ikut sakit karena sejak tengah malam dia sudah disini. Salma mengerti, Gika tidak akan merahasiakan kalau bukan Aric yang paksa.

"Sini Gika, di cariin Aric." Salma bergeser, memberi Gika ruang untuk lebih dekat pada Aric yang sudah mengulurkan tangannya pada Gika.

"Pagi" Ucap Gika dengan senyum setelah mengecup sekilas bibir Aric tanpa rasa malu di hadapan kedua mertuanya. Senyum yang seakan membuat Aric lupa bahwa semalam ia sempat memohon untuk mati saja.

Salma di tempatnya malah menangis melihat bagaimana tulusnya Gika yang semalam enggan meninggalkan Aric.

"Dari mana?" Terbiasanya Aric melihat Gika sebelum tidur hingga bangun lagi, membuatnya menjadi tidak nyaman ketika pagi ini bukan Gika orang yang pertama kali dia lihat.

"Aku tadi pulang bentar, mandi sama ganti baju." Jawab Gika, tangannya terangkat merapikan rambut Aric yang semalam membuatnya tidak bisa tidur dan tidak berhenti berdoa.

"Saking bentarnya pasti kamu enggak makan ya?" Gika memasang senyum tidak enaknya atas pertanyaan Mahendra.

"Makan deh, suapin Aric sekalian." Mahendra kemudian mengajak Salma untuk keluar. Memberi Gika dan Aric ruang lagi. Ia mengerti Aric menginginkan itu, karena bahkan anak bungsunya itu tidak berhenti menatap Gika.

"Makan yuk? Atau mau mandi dulu?" Karena dirumah, Aric biasanya mandi dulu baru sarapan. Pokoknya Aric itu makan dalam keadaan dia sudah rapih.

"Makan dulu" dan Gika agak terkejut, dari pak Arman Gika tau, bahwa Aric itu orang yang rapih dan sangat bersih juga teratur. Kebiasaannya tidak pernah berubah sejak pertama kali pak Arman mengenalnya. Maka Gika patut heran ketika pagi ini Aric melenceng dari kebiasaannya.

Aric sendiri, ia tidak mau Gika lupa pada dirinya karena terus fokus padanya.

"Mandi dulu yuk, aku bawa baju kamu kok." Gika baru akan beranjak berniat mengambil baju dan kebutuhan Aric yang lain ketika Aric menahannya. Untungnya, Aric sudah di bolehkan pulang.

"Kita makan dulu" ucapnya, mengetahui Gika semalam tidak berhenti memeluk juga mencium kepalanya membuat Aric benar-benar merasa menjadi manusia paling beruntung karena punya Gika di hidupnya.

Gika tidak membantah lagi, ia menyuapi Aric dan dirinya dengan piring dan sendok yang sama.

"Kaki kamu masih sakit?" Aric sudah mandi, sudah berganti baju dan sedang duduk di kursi rodanya. Gika tadinya berjongkok di depannya berniat mengoleskan salep seperti biasa. Tapi Aric menuntunnya untuk duduk di pahanya seperti biasa.

"Makasih" ucapnya, dan Gika bingung karenanya.

"Makasih karena kamu enggak ninggalin saya, kita amin kan sama-sama doa kamu semalam." Ucap Aric lagi, dan Gika menatapnya dengan matanya yang berkaca-kaca.

"Kamu pasti sembuh" Gika mengusap pipi Aric dengan jarinya.

"Kamu pasti bisa jalan lagi" dan Aric nyaris memejamkan matanya karena sentuhan halus Gika pada wajahnya.

"Yang penting kamu gak nyerah, mulai sekarang jangan males-malesan latihan jalan sama terapi ya?" Aric mengangguk, mengecup bibir Gika kemudian membiarkan gadis itu kembali berlutut di depannya untuk mengoleskan salep pada kakinya.

______

"Gangika? Iya kan?" Gika spontan berbalik ketika merasa seseorang menyentuh bahunya. Matanya menyipit mencoba mengingat kiranya siapa laki-laki di depannya ini.

"Gue Aksara" Gika kini melotot, dia tau tindakannya tidak sopan, tapi Gika sekarang memang sedang meneliti penampilan pria di depannya ini.

"Aksara Lingga?" Ucapnya. Gika agak tidak percaya dengan pandangannya sendiri.

Dia Aksara Lingga, temannya semasa kuliah yang seingatnya dulu, badannya gemuk, matanya selalu pakai kacamata bulat, yang hobinya adalah memotret apa saja dan bilang hobinya memang itu. Tapi sekarang, dia lebih tinggi dari Gika, kulitnya putih, rambutnya tertata rapi, kacamata itu cocok sekali di wajahnya. Terlihat lebih modern dan stylish.

"Iya, udah lama gak ketemu, lo apa kabar?" Aksara tertawa kecil, tadinya dia sempat ragu menyapa karena takut salah orang.

"Baik, lo ngapain disini?" Mereka sedang di depan lobi rumah sakit, Aric di sebelahnya bersama pak Arman, mereka sedang menunggu Salma dan Mahendra yang masih mengurusi beberapa hal di dalam.

"Jengukin temen gue, abis lahiran." Gika hanya mengangguk saja, sebenarnya dia tidak terlalu kenal Aksara juga tidak terlalu akrab. Mereka hanya sesekali menyapa ketika tidak sengaja berpapasan di kampus dulu.

"Lo sendiri?" Mata Aksara menatap Aric sebentar, dimana Aric membalasnya tanpa kata juga tanpa ekspresi.

"Gue mau pulang" jawab Gika singkat,  ia kemudian berbalik pada Aric.

"Dia temen aku waktu kuliah, Aksara kenalin dia suami gue, panggil Aric aja." Ucap Gika mengenalkan Aric pada Aksa dan sebaliknya.

"Lo..udah nikah?" Gika mengangguk, Aksara mengulurkan tangannya lebih dulu pada Aric yang terlihat tidak tertarik pada perkenalan ini.

Salma dan Mahendra datang, Salma sendiri langsung menggandeng tangan Gika untuk ikut dengannya. Karena ngomong-ngomong, mobil yang Aric pakai itu mobil khusus, tidak ada kursi di belakang. Hanya ada dua di depan satu untuk Arman duduk satu lagi untuk Prasetya yang memang supir pribadi Aric.

"Sama saya aja" Aric berucap tiba-tiba, sekaligus menahan langkah Salma dan Gika.

"Kalau Gika sama kamu dia duduk dimana, lagian enggak bakal mama apa-apain istri kamu." Salma yang menjawab, karena Aric terlihat enggan di tinggal Gika.

"Saya pangku" balas Aric dengan entengnya.

"Mana bisa mas, aku sama mama aja, lagian kita sama-sama mau kerumah." Iya memang akan susah, maka Aric tidak menjawab lagi. Matanya tanpa sengaja menatap pada Aksara yang masih di tempatnya. Menyimak apa yang sedang terjadi di depannya, dan Aric merasa tidak suka keberadaannya itu.

Aksara masih disana, memerhatikan kepergian Gika dalam diam. Sebenarnya dia terkejut ternyata Gika sudah menikah, dan lebih terkejut lagi ketika ternyata suaminya duduk di kursi roda. Rasa penasaran itu ada, tapi darimana dia akan tau jawabannya kalau pada Gika saja dia tidak dekat? Tidak, karena Gika memang membatasi. Aksara masih ingat perempuan itu memandang aneh padanya suatu hari di masa lalu, membuat Aksara menyadari, Gika sama dengan semua orang yang enggan berteman dengannya yang miskin dan jelek.

BORN TO BE OVERLOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang