Kabar itu sampai pada Aric. Laki-laki yang duduk di kursi rodanya itu menatap mamanya dengan kesal yang tidak repot-repot di sembunyikan.
Menikah dengan Gika? Dari mana pula mamanya mendapatkan ide konyol seperti itu, dan kenapa Gika mengiyakan?
"Kalau mama enggak bisa dan udah capek nemenin saya yang cacat, mama harusnya enggak perlu melibatkan orang lain." Hati Salma rasanya seperti di cubit mendengar ucapan Aric barusan.
Tapi mana mungkin dia lelah, ia berhenti dari pekerjaan dan melepas jabatannya demi Aric.
"Justru mama ngelakuin ini karena mau yang terbaik buat kamu, Gika orang yang baik, dia pasti mau nemenin kamu sampai sembuh." Ucap Salma berusaha tegas, meskipun sekarang tubuh dan pikirannya sama-sama lelah. Alea di rumah sakit belum juga berhenti menangis dan meraung, terlebih ketika dia tau suaminya mengalami koma.
Aric sendiri, ia sudah tidak lagi berfikir untuk menikah sejak kakinya tidak berfungsi. Setelah gadis yang ia pacari selama hampir dua tahun meninggalkannya dan terang-terangan menolak kondisinya.
Gika, kenapa dia mau mengorbankan hidupnya untuk laki-laki tidak berguna seperti dia? Bukankah itu namanya buang-buang waktu? Tulus katanya, bagaimana mungkin hanya dalam satu kali pertemuan, mamanya mengambil kesimpulan bahwa Gika adalah orang yang tulus. Menikah dengannya hanya menyia-nyiakan waktu, Gika tidak akan dapat apa-apa kecuali mungkin harta. Gadis itu menikah dengannya berarti juga siap untuk tidak memiliki keturunan. Karena Aric tidak bisa, dan sepertinya juga tidak akan siap anaknya punya ayah cacat seperti dirinya.
"Aric, mama enggak pernah capek nemenin kamu. Mau bagaimana pun kondisi kamu, kamu tetap anak mama." Aric diam, tidak tega juga dia sebenarnya melihat mamanya menangis.
"Kakak kamu Alea juga lagi tertimpa musibah, mama bingung banget Aric. Mama enggak mungkin ninggalin kamu dan Alea, tapi gimana mungkin mama bisa ada di samping kalian secara bersamaan?" Salma yang duduk di tepi kasur Aric, mengulurkan tangannya mengusap rambut anak bungsunya yang kini enggan melihat kearahnya.
"Mau ya nikah sama Gika?"
_______
Gika tau dia terlalu bodoh karena begitu cepat mengambil keputusan. Dengan sok pahlawan ia menawarkan diri untuk menemani Aric.
Si Altezza Alaric. Yang mungkin sudah keseribu kalinya ia mengatakan-, pria itu membencinya. Mana mungkin dia sudi?
Namun nyatanya, pikirannya itu salah. Kurang dari sebulan pernikahan itu di persiapkan dengan mode kilat. Semua serba cepat, seolah besok adalah kiamat dan semua tamat.
Gika disini, dengan gaun pengantin yang menjuntai panjang menyentuh lantai, dengan make up yang dibuat sesempurna mungkin. Gika tidak menyangka, persiapan pernikahan bisa di lakukan secepat ini. Bahkan, mereka seperti tidak memberinya waktu untuk berfikir siapa kiranya yang akan Gika undang, karena akhirnya hanya beberapa dari teman kantor dan karyawan kafe lah yang menjadi tamunya. Selebihnya adalah teman dan kerabat orang tuanya.
Ia memegang dadanya yang berdentum seperti gendang, keras dan cepat. Sampai rasanya Gika kewalahan. ia agak merasa sesak, apa mungkin karena gaun ini? Yang menempel pas sekali di tubuhnya?
Aric masuk dengan tante Salma yang mendorong kursi rodanya. Pria yang nyatanya menerima semua ini, alias Altezza Alaric, kini menatap lekat padanya dan Gika malah gugup karenanya.
"Biasa aja liatnya, cantik kan calon istri kamu?" Salma yang berusaha terlihat ceria meski gurat lelah itu tidak pergi dari wajahnya. Tapi dia tidak bisa bohong, dia bahagia hari ini, tapi di usahakan terbatas karena Alea masih dalam kondisi berduka. Masih dirumah sakit menjalani pemulihan juga harus memperbaiki mentalnya di bantu psikolog.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
Chick-LitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower