47

10.9K 838 15
                                    

Memang sangat bodoh. Gika seolah merasa pendidikannya selama ini hanya sia-sia. Percuma lulusan sarjana S1 atau apapun kalau masih sangat memelihara kebodohan.

Hari masih terlalu pagi untuk memaki, Gika dengan hati-hati dan berusaha tidak menimbulkan suara-, beranjak turun dari kasur.

Kasur di apartment Altezza Alaric. Benar. Silahkan hujani Gika dengan segala makian yang ada. Karena betapa bodohnya dia, semalam begitu terbuai seperti kehausan membiarkan Aric menciumnya dimana-mana. Ayolah, dia sudah dua puluh delapan tahun. Dia tidak bodoh untuk mengartikan bahwa dia juga menginginkan itu. Tapi terimakasih pada kewarasannya yang meski tersisa sedikit, masih mampu membuatnya lekas tersadar. Ia menahan Aric yang nyaris membuka bajunya semalam, tertidur diatas kasurnya karena kelelahan juga lupa waktu. Bisa-bisanya dia menginap di apartment Aric. Sangat tolol! Bisa-bisanya ia tidur sekasur dengan Aric, tidak ada lagi yang lebih bodoh dari dia.

Gika segera keluar dari sana, bersyukur karena Aric belum bangun. Ia tinggalkan apartment itu dan segera memesan taksi. Ponselnya menunjukkan banyak sekali panggilan tidak terjawab. Dari Keisha, dari Carla, dari Bara, juga dari orangtuanya. Namun Gauri harus lebih dulu di kabari, ia cepat-cepat mengirim pesan pada Gauri kalau dia baik-baik saja dan dalam perjalan pulang.

Rumah kosong ketika ia sampai, Gauri mungkin sudah ke toko roti, ayahnya pasti bekerja. Gika segera naik ke kamarnya, masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahnya. Ia rasanya ingin sekali membenturkan kepalanya ke dinding, ingatan semalam sepertinya tidak akan lepas dari kepalanya.

Ponselnya berbunyi lagi, dia Keisha.

Mbaak! Bikin khawatir aja sih?! Mbak dimana kok dari semalam gak angkat telpon?!

Pada akhirnya dengan singkat dan menutupi beberapa hal, Gika menjelaskan pada Keisha yang semoga tidak menceritakan apapun pada Bara meski itu mustahil.

Panggilan selesai, nomor asing kembali menelpon. Gika agaknya ingat ini. Nomor yang semalam menelponnya, berarti ini adalah nomor Aric.

Gika memilih tidak mengangkat panggilan itu karena tidak ingin memperpanjang kebodohannya.

Namun ternyata keputusannya salah, Aric mendatangi rumahnya. Gika agak gemetar membaca pesan darinya.

Saya di depan rumah kamu, kita perlu bicara.

Bagaimana mungkin Gika masih mau menatap pria itu setelah kejadian tidak terduga semalam?

Tapi bagaimana kalau Gauri datang dan melihat Aric dirumahnya? Apa dia tidak akan mengamuk? Dengan terpaksa dan berusaha bersikap seolah tidak ada yang terjadi semalam, Gika terpaksa turun dan menemui Aric. Ia tidak mempersilahkan pria itu masuk

"Ada apa?" Katanya to the point. Menolak membangun percakapan apapun dengan Aric dalam jangka waktu yang lama. Itu satu, yang kedua karena melihat Aric membuatnya mengingat kebodohannya semalam.

Pria itu tidak bisa ia salahkan, karena nyatanya dia memang menerima dan membalas segala ciuman pria itu semalam. Memang bodoh sekali kamu Gika

"Saya panik kamu tiba-tiba pergi" ucapnya, dan Gika memang percaya itu melihat kekhawatiran di wajahnya kini.

Tapi, kalaupun memang dia harus berpamitan, BAGAIMANA CARANYA?! Aric apakah lupa bahwa mereka ini mantan?!

"Sorry, semalam aku__

"Enggak, kamu gak salah." Gika turunkan tangan Aric yang dengan lancangnya menyentuh pipinya.

"Salah. Apapun yang terjadi semalam adalah kesalahan, aku..maksud ku kita.. seharusnya gak melakukan apapun. Jadi aku minta tolong kamu untuk gak___

BORN TO BE OVERLOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang