Jadi teman Aric?
Mengulanginya dalam hati membuat Gika hampir mual.
Ini sudah dua hari sejak tante Salma meminta hal mustahil itu. Tolong jangan berfikir Gika enggan berteman dengan orang yang tidak bisa berjalan. Tidak, Gika tidak peduli bagaimana kondisi Aric, dia sempurna ataupun tidak itu bukanlah urusannya sebagai sesama hamba. Masalahnya disini adalah, bagaimana mungkin Gika bersedia menjadi temannya kalau Aric saja tidak suka padanya?
Tatapan Aric yang setajam elang menatapnya waktu itu masih dapat ia ingat. Penolakan Aric memang tidak membuatnya trauma tapi entah kenapa sangat membekas.
"Lo perasaan dari kemarin ngelamun mulu, ada apa sih?" Mita datang dan bergabung di meja kerja Gika.
"Enggak papa." Gika menjawab cuek, sepertinya Gika harus meminta pendapat Bara. Karena begitulah memang, Gika yang bingung selalu menjadikan Bara solusinya.
Dua hari ini, tante Salma terus menagih dan dengan cara yang sopan, membuat Gika di landa rasa tidak enak yang luar biasa. Gika merasa sangat jahat sudah mengabaikan itu dan membuat tante Salma menunggu.
Gika tidak mau dianggap sama dengan orang-orang yang menjauhi Aric pasca kecelakaan itu. Tapi apa Aric juga tidak semakin mengamuk melihatnya datang? Dia kan bukan siapa-siapa.
"Kalau ada masalah cerita, siapa tau kita bisa bantu." Gika menoleh pada Mita yang sedang menikmati kopinya.
Maksud Gika kenapa harus minum kopi di mejanya sih?
"Lo pernah di tolak enggak mbak? Maksud gue..di tolak cintanya gitu?" Mita sejenak diam, ia nampak sedang berfikir.
"Enggak pernah sih, gue juga enggak pernah nembak duluan. Emang kenapa? Lo lagi suka sama orang?" Gika menggeleng. Benar juga. Mita mana pernah merasa di tolak.
Dia cantik, badannya bagus. Seksi tapi pas. Banyak laki-laki di kantor ini mengakui itu. Gika salah tempat untuk bertanya.
"Enggak sih, gue cuma nanya." Mita belum menjawab saat salah satu rekan kerja lain memanggil Gika.
"Di panggil pak Andre" ucapnya, dan itu adalah awal dari bad moodnya Gika seharian.
Laporan yang ia kerjakan memiliki banyak sekali kesalahan yang turut membuat Gika bingung. Kemana fokusnya hingga pekerjaannya menjadi tidak beres begini?
Tiga tahun bekerja disini, Gika bukan tidak tau bahwa pak Andre adalah atasan yang tegas dan sangat disiplin. Gika juga bukan pertama kali di marahi, namun karena justru itulah Gika sudah berusaha untuk tidak melakukan kesalahan karena marahnya pak Andre bukan marah biasa.
Ia tidak segan berteriak, membentak, bahkan memaki. Gika bahkan menangis di hari pertamanya bekerja karena terlalu terkejut. Gika mampu bertahan hingga tiga tahun juga bukan karena gaji. Ayolah, di kafe Gauri yang ia pegang, dia bisa mengambil begitu saja setara dengan gajinya di kantor ini. Tapi entah kenapa, Gika memang tidak mau berhenti meski kadang-kadang ia sakit hati dimarahi. Gika memang seringkali sok kuat.
Tapi meski sekarang ia dalam kondisi sedih habis di marahi, tidak menyurutkan niatnya untuk bertemu Bara. Laki-laki yang masih galau itu mengiyakan permintaan Gika sekalian makan malam.
Di salah satu restoran yang tidak terlalu ramai, Gika duduk menunggu Bara yang masih dalam perjalanan.
"Gika! Hai" namun Gika agaknya menyesal karena memilih restoran ini. Sapaan kelewat ceria itu tidak menular pada Gika. Gadis itu hanya tersenyum sembari melambaikan tangannya dengan canggung.
Sayang sekali karena Agni malah mendekat bahkan duduk di depannya.
"Kebetulan banget ketemu disini." Meski tersenyum, Gika sama sekali tidak senang dengan kebetulan yang Agni maksud.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower