29

10.4K 873 9
                                    

Gika tidak menyangka, bahwa melihat Aric belajar berjalan di depan sana ternyata sebahagia ini. Gika bahkan sudah berulang kali menghapus air matanya yang turun karena terharu melihat bagaimana kerasnya usaha Aric untuk berjalan lagi.

"Itu yang saya rasain tiap nemenin mas Aric kesini mbak" Arman yang berdiri di sebelah Gika, menatap padanya yang sudah menangis.

Gika tidak menjawab, namun ia percaya ucapan Arman itu. Aric sudah bersimbah keringat disana, Gika tau kesulitan itu meski bukan dia yang berada di posisi Aric.

Untungnya, atas suruhan ayah mertuanya-, Gika berhasil ikut untuk melihat segala proses pengobatan dan terapi Aric yang sekarang lebih sering di lakukan.

Aric selesai beberapa jam kemudian, Gika langsung memeluknya juga mengecup kening Aric beberapa kali. Kemudian dia berjongkok di depan Aric yang tersenyum padanya.

"Cie..yang bentar lagi sembuh" Aric tertawa, ia amin kan itu dalam hati. Latihan berjalannya kali ini membuatnya jauh lebih semangat karena ada Gika. Yang tentu tidak seperti apa yang ia bayangkan. Kemarin-kemarin, Aric takut kepercayaan dirinya luntur ketika Gika ada di sekitarnya melihatnya begitu susah payah untuk sekedar berdiri.

Tapi tidak, melihat Gika dari kejauhan dan menyemangatinya tanpa suara membuat semangat itu menjadi berkali-kali lipat.

"Gika?"

"Hmm?" Gika yang duduk di bangku depan dalam perjalanan pulang-, menoleh pada Aric yang duduk di kursi rodanya di bagian belakang.

"Kamu masih ingat warung mie ayam depan sekolah kita dulu?" Gika mengangguk semangat

"Iya! Kamu pernah kesitu juga ternyata?" Gika kira, Aric yang dulunya sekolah diantar jemput supir mana mungkin makan di warung pinggir jalan.

"Iya, kamu mau kesana?" Karena yang Aric tau, warung itu masih berdiri hingga sekarang. Aric mau kesana dan mengenang banyak hal, tapi dengan Gika.

"Serius?" Gika agak ragu, karena untuk sekarang Aric hanya ke kantor dan rumah sakit. Mendengarnya mau ke warung mie ayam membuat Gika agak tidak percaya dan ia butuh memastikan itu

"Iya, kamu mau?"

"Aku pasti mau kemana aja asal sama kamu" lalu Gika tertawa karena telinga Aric memerah.

____

Pemilik warung ternyata masih ingat Aric dan juga Gika. Pria berusia enam puluhan tahun itu menyambut Aric dengan antusias, meski sedikit di raut wajahnya Gika melihat keterkejutannya melihat Aric duduk di kursi roda.

Namun itu semua buyar dan tidak akan membuat Aric berkecil hati ketika pria tua bernama Arif itu berjanji akan menghidangkan mie ayam yang sama yang pernah membuat Aric dan Gika ketagihan.

"Dulu kamu sering kesini?" Tanya Gika setelah Aric selesai berbicara dengan pak Arman. Aric meminta secara baik-baik untuk pak Arman duduk di meja lain karena ia ingin berdua dengan Gika. Dan pak Arman dengan senyum lebarnya dan dua jempolnya terangkat menyetujui.

"Sering, makan siang atau sepulang sekolah saya sama temen-temen pasti kesini." Ingatannya ia biarkan mengingat kembali momen-momen menyenangkan ketika pada jaman itu teman-temannya masih lengkap.

"Aku juga sering kesini, apalagi pas ada kamunya." Aric terdiam, ia menatap pada Gika yang menatapnya dengan senyum.

Dan itu fakta, Gika memang tidak dekat dengan Aric. Ia hanya tau nama dan kelasnya. Gika juga tidak pernah menyapanya dan tidak pernah ada obrolan diantara mereka. Tapi pada waktu itu, ia kelaparan sehabis di hukum karena terlambat, ia mendatangi warung ini dan melihat Aric makan disini bersama banyak orang temannya, juga pernah bersama Agni satu kali. Satu momen itu yang tidak ia sadari bahwa mereka sepertinya sedang dalam masa pendekatan.

BORN TO BE OVERLOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang