Ini sudah satu minggu hingga akhirnya Gika kembali datang ke restoran. Selama itu ia menyibukkan diri di kafe nya. Bukan karena benar sibuk, tapi Gika memang sengaja menghindar. Sebut saja ia pengecut, tapi ketika mengantar Aric ke rumah sakit waktu itu, keesokan harinya ia di landa penasaran soal bagaimana keadaan pria itu setelahnya. Namun Gika dengan keras menahan diri, ia tidak mau tau bagaimana keadaannya dan apakah yang terjadi setelahnya. Karena itu sama saja membuat dirinya makin terlihat bodoh. Kenapa masih peduli pada orang yang pernah membuatmu sakit hati dan masih hingga kini?
"Gika!" Namun sial ketika Gika baru saja turun dari mobilnya, Deka berlari kecil kearahnya. Di tangannya ada sebuah paper bag kecil yang Gika tidak peduli apa isinya.
"Kamu abis sakit ya? Kok baru muncul lagi?" Memang kenapa dia harus tau sih? Karyawannya saja tidak keberatan.
"Enggak, cuma lagi sibuk." Gika tersenyum tipis. Matanya menatap Deka dan paper bag yang ia ulurkan.
"Ini coklat, kebetulan mama baru pulang dari Swiss" Gika masih tidak menerimanya. Mereka tidak dekat, maka kenapa ia kebagian oleh-oleh?
Lelucon apa lagi ini?
"Kenapa... maksud saya..kenapa di kasi ke saya?" Ini terlalu terang-terangan. Dan Gika sepertinya tidak suka
"Ya karena aku mau, di kasih ke anak-anak kantor juga masih kelebihan. Apalagi pak Aric gak suka coklat" ucapan terakhirnya tidak mau Gika pedulikan. Tapi sejujurnya dia baru tau kalau Aric ternyata tidak suka coklat. Benar, kurang dari setahun menikah memangnya apa yang Gika tau?
Tapi supaya cepat selesai dan obrolan ini juga berakhir, Gika menerima coklat itu sembari dalam hati berjanji akan memberikannya pada Fadil nanti.
"Yaudah, makasih ya. Saya masuk dulu kalau gitu__
"Gika, hari minggu kamu biasanya kemana?" Sebenarnya tidak kemana-mana, tapi karena dia Deka, Gika rasanya ingin bilang kalau hari minggu dia ingin mendaki gunung salak sendirian.
"Saya ada kegiatan, permisi ya." Deka terlihat masih ingin bicara, tapi Gika sudah keburu pergi.
____
"Si paling gercep" Marcel dan Aric melihat dari lantai atas di balik jendela kaca yang besar. Bagaimana Deka berlari dan mengobrol lalu di tinggal oleh seorang wanita di seberang jalan.
Dari yang Marcel dengar dari Carla, dia pemilik restoran tempat mereka membeli makan siang tiap hari. Namanya Gangika Ameera. Cantik seperti orangnya. Dengan penampilannya yang sangat menampilkan wanita karir dan sukses.
"Deka perasaan baru bulan lalu abis putus" Aric masih tidak menanggapi. Dia, Marcel dan Deka memang lumayan dekat sejak beberapa bulan belakangan. Terutama karena showroom ini ada
"Incarannya kali ini cewek kaya gimana lagi?" Marcel masih berbicara sendiri, ia menolehkan kepalanya pada Aric yang masih memandang jalan.
"Bukan urusan kita" memang bukan, Aric tegaskan itu untuk dirinya sendiri. Tapi kenapa dia tidak rela?
Kenapa juga dia tidak rela? Jangan egois Aric. Gika berhak bahagia seperti apa yang selalu ia bilang dulu. Dan dia pun harus terima jika bahagia itu bukan dengannya. Tapi, apa harus Deka?
Aric memutuskan meninggalkan showroom lebih awal, ia ada janji bertemu dengan Mariska sore ini. Mereka janjian di salah satu restoran dalam mall yang dekat dari butik tempat Mariska bekerja.
Dalam perjalanan, Aric menghentikan langkahnya di tengah lalu lalang orang di dalam mall. Matanya menangkap sosok Bara. Bara Alexander yang memutuskan keluar dari perusahaan juga membayar denda karena berhenti sebelum kontrak selesai.
Pria itu juga menyadari keberadaan Aric, dengan langkah pasti dan percaya diri ia berjalan kearahnya. Berhenti tepat di depannya dengan jarak dekat, ujung sepatu mereka nyaris bersentuhan. Dan Aric akan paham mengapa Bara menatapnya sedemikian tajamnya.
"Apa kabar Altezza Alaric?" Ini adalah kali pertama nyaris satu tahun tragedi kemarin terjadi. Pria itu tidak ia temukan dimana pun dan Bara terlanjur berjanji pada Gika untuk tidak mendatanginya. Padahal pasti asyik sekali memukul wajahnya sampai tulang pipinya patah kan?
"Baik, kamu?" Bara tersenyum, senyum yang tidak menggambarkan keramahan dan kesenangan.
"Tadinya kesel karena jam tangan incaran gue sold out terus, tapi liat muka lo... gue biasa aja sekarang." Tidak juga, kedua tangan di saku celananya sudah mengepal.
"Kalau lo gak sibuk, gue pengen kasih tau sesuatu. Dimana gue yakin lo akan menyesal seumur hidup kalau sampai lo tolak" lalu Bara berbalik, melangkah cepat memasuki salah satu restoran terdekat tanpa menunggu respon Aric. Tapi ia tau, pria itu pasti penasaran dan memang sedang mengikuti langkahnya dengan seribu pertanyaan di kepala.
Gika sudah bilang percuma kalau Aric tau, tapi dia bukan Gika. Yang bisa diam saja dengan menyimpan kebenaran itu sendirian. Kalau Aric tidak bisa ia tampar, setidaknya fakta ini harus bisa membuatnya tenggelam dalam penyesalan.
______
Aric mengikutinya, hatinya mau begitu. Ia dengan cepat mengirim pesan pada Mariska untuk membatalkan janji tidak peduli wanita itu sudah menunggu lama. Ia tidak tau apa sebabnya, namun ia sangat tertarik dengan apapun yang ingin Bara bahas kali ini.
"Gue dulu bisa basa-basi sampe mampus sama lo ya Aric, tapi sekarang gue udah males." Ucap Bara to the point setelah duduk di salah satu kursi dengan Aric di depannya.
"Kopi pait dua mbak, jangan pake gula sebutir pun." Mungkin itu bentuk dari rasa kesalnya. Ia bahkan tidak tanya apakah Aric bisa minum kopi tanpa gula. Tapi persetan! Hidup Gika sudah jauh lebih pait dari itu.
"Lo udah pernah ketemu Aksara? Atau lo pernah nyari gak?" Tidak bisa di pungkiri, Aric nampaknya tidak terpengaruh dengan tatapan tajam Bara. Pria itu tidak terlihat santai tapi juga tidak terlihat tegang. Bara tidak bisa menebaknya.
"Pernah, tapi gak ketemu." Sebenarnya apa masih boleh ia bahas ini? Mungkin jawabannya adalah tidak perlu, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menahannya untuk tidak kemana-mana.
"Mungkin lo bayarnya murah, jadi mereka gak berusaha keras." Bara membalas tajam, bukannya dia kaya raya? Siapa yang tidak tau fakta itu?
Dia seharusnya bisa membayar Intel sekalian untuk mencari seorang Aksara Lingga yang sekarang sedang fokus bertani.
"Saya___
"Gak usah lama-lama, sebenarnya gue males liat muka lo" Aric mengernyitkan dahinya, heran dan bingung mendengar kalimat Bara barusan. Tapi itu benar, sebagai sahabat dia pasti tidak terima Gika di sakiti. Atau sekarang statusnya sudah bukan lagi sekedar sahabat?
"Gue minta nomor lo" Aric memberikannya tanpa banyak kata. Bara mengirimkan sebuah file rekaman suara yang berjudul 'Aksara'
"Silahkan dengar dan ratapi penyesalan lo sampai mati kalau perlu" ucap Baru lalu beranjak dari sana, ia tidak meminum kopinya sama sekali juga membiarkan Aric membayarnya.
_______
Aric tiba di apartment nya pada malam hari, ia memasuki ruang kerjanya lalu duduk setelah menyalakan lampunya.
Ia putar rekaman kiriman Bara itu dengan volume paling keras dan mengulanginya nyaris lima kali. Ia mengambilnya, mendial nomor Bara namun panggilannya terus saja di tolak. Ia putar rekaman itu sekali lagi sampai mungkin ia hafal setiap kalimatnya.
Aric berdiri, meremas rambutnya juga secara kasar melepas kemejanya yang seolah membuatnya sesak. Keringatnya membanjiri wajahnya, degup jantungnya menggila. Dan ia menyadari ia sangat egois juga sangat kurang berusaha. Ia bodoh karena tidak percaya pada perempuan yang masih hingga hari ini sangat ia cintai namun ia lepaskan karena sebuah kesalah pahaman.
Sebuah kesalahan, Gika tidak sedang berbahagia. Justru ia hancurkan hidupnya. Aric terduduk di lantai, bersandar pada dinding dan menatap langit-langit ruang kerjanya. Tidak ada yang lebih bodoh dari dirinya di dunia. Bagaimana ia menebus kesalahannya sekarang? Bagaimana kalau Gika tidak sudi lagi memandang wajahnya?
Malam itu Aric habiskan dengan merenung, ia tidak tertidur satu detik pun. Tidak bisa karena hatinya gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower