Aksara Lingga. Seingat Gika, dia dulunya adalah pria pendiam yang selalu Bara ajak nongkrong bersama tapi selalu di tolak. Ada beberapa momen dimana ketika Gika sedang bersama Bara, mereka bertemu Aksara entah di parkiran kampus atau di taman kampus, Bara selalu mengajaknya, namun selalu di tolak pula oleh Aksara.
Aksara itu sebenarnya cukup populer di kampus, bukan karena dia Casanova, atau si mahasiswa berprestasi dengan segala kharismanya. Tidak. Orang-orang di kampus dulu mengenal Aksara Lingga sebagai pria pendiam, enggan bergaul, jelek, dan juga miskin. Beberapa teman wanita Gika dulunya sering menggosip soal Aksara. Walaupun dari mereka semua tidak ada yang benar-benar tau kehidupan Aksara sebenarnya. Dia nyaris tidak punya teman, memang lumayan berprestasi, karena Aksara kuliah mengandalkan beasiswa.
Gika masih ingat rupanya dulu, dia tinggi dan kulitnya kecoklatan. Memakai kacamata juga terlalu sering menunduk daripada menatap lawan bicaranya. Gika beberapa kali pernah menegurnya ketika tidak sengaja berpapasan di jalan. Tapi Aksara tidak pernah membalas sapaannya itu, maka Gika patut heran, ketika di jam lima sore selepas urusannya di kafe selesai, entah tau darimana, Aksara sudah terlihat di parkiran kafenya yang tidak terlalu luas.
"Jadi ini bener lo pemiliknya?" Katanya, senyum yang dulunya tidak pernah Gika lihat, kali ini terpatri jelas di wajah Aksara. Gika memperhatikannya, ia memakai kemeja dan celana bahan juga dasi.
Khas orang kantoran sekali.
"Iya, kok bisa disini?" Tanya Gika, meski sebenarnya dia sudah lelah untuk sekedar basa-basi.
"Gue sering kesini, nyokap gue suka banget sama tiramisu dari kafe ini. Kebetulan tadi gue liat lo, mau gue tegur lo kayaknya lagi sibuk. Kebetulan pas gue dateng lagi lo masih disini, jadi ya..gue cuma mau nyapa." Gika mengangguk-anggukkan kepalanya, memang banyak orang yang telah keluar masuk kafe ini. Juga tentu saja banyak yang pernah membeli tiramisu. Gika tidak pernah tau kalau salah satunya adalah Aksara. Itu wajar, karena Gika memang lebih sering terlibat di dapur daripada melayani pelanggan tiap kemari.
"Makasih buat nyokap lo, gue duluan ya?" Karena Aric sudah menelponnya dengan nada perintahnya, meminta Gika untuk segera pulang.
"Gika, gue boleh..minta nomer lo?" Gika sejenak terdiam. Tiba-tiba saja dia mengingat, dulu Fani-teman kuliahnya- Aksara pernah datang pada Fani dan meminta nomor ponselnya. Semua orang hari itu menatap kearah Aksara yang di sebut-sebut menyukai Fani. Namun Fani menolaknya mentah-mentah, juga bahkan mengatai Aksara tidak tau diri, jelek, juga miskin. Fani mengatakannya di keramaian hari itu, dimana ada Gika juga disana. Gika yang iba melihat Aksara yang menunduk dan langsung pergi begitu saja tanpa kalimat bantahan untuk apapun yang di ucapkan Fani padanya. Dari sana, Gika menjadi kasihan.
"Atau kalau emang lo masih gak suka temenan sama gue, ya gak usah Gika. Gak papa" Aksara menyambung ketika ia rasa Gika menatapnya dengan ragu.
"Lo tau dari mana gue gak mau temenan sama lo?" Karena seingatnya, ia tidak pernah mendeklarasikan tidak ingin berteman dengan Aksara atau siapapun orangnya.
Aksara sendiri menyimpulkan begitu karena ia dengar sendiri Gika meremehkan dirinya. Yang dimana setelah kejadian itu, Gika bertingkah seolah tidak terjadi apapun, maka oleh sebab itu Aksara tidak pernah menjawab ketika Gika menyapanya. Di tangga, di lift, di parkiran, di taman, atau di kantin. Semuanya.
Tapi Gika tidak tau itu, karena dia juga tidak tau kalau ternyata ia disana ketika Gika dan Fani membicarakannya.
Tapi, seminggu yang lalu ia bertemu kembali dengan Gika. Sesuatu dalam dirinya yang memang tidak pernah di mulai juga di selesaikan, seperti memaksanya untuk segera menuntaskan itu.
"Gue cuma.. menyimpulkan sendiri aja" Gika menghela nafas, jelas-jelas dia sendiri yang enggan disapa waktu kuliah dulu, dia sendiri yang selalu menolak Bara tiap diajak nongkrong.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower