51. NIMBOSTRATUS

252 14 0
                                    


***

"Cepet sembuh, Gav."

"Besok gue terbang jam lima pagi, lo gak mau ngucapin kata perpisahan buat gue?" ucap Zayden yang diakhiri kekehan di akhir kalimatnya

Zayden duduk di samping bed yang Gavy tiduri. Cowok itu menatap wajah Gavy yang kelihatannya sedang menahan sesuatu yang sangat besar.

"Mungkin ini terakhir kalinya gue gangguin lo, Gav, tapi gue akan selalu mengingat siapa yang membuat hati seorang cewek yang gue sayang itu selalu rindu sama lo." Zayden menundukkan kepalanya. Ya, dia menangis dalam diam.

"Bangun, Gav. Banyak orang yang menantikan kesadaran lo, termasuk Esha. Setelah gue pergi, siapa yang jagain Esha nanti kalau lo gak sembuh," ujar Zayden.

Zayden menghirup napas berat lalu membuangnya secara perlahan. "Lo orang yang hebat yang pernah gue temuin di belahan dunia, Gav. Sosok terbaik yang pernah gue kenal." Cowok itu tersenyum kecut setelah mengatakan kalimat itu.

"Gue udah lurusin semuanya tentang perasaan gue ke Esha. Dan semoga setelah ini dia gak benci gue ya, Gav?"

"Gue pamit. Semoga lo cepat pulih dan hidup lo bahagia seperti yang lo mau. Dan tolong jaga Esha," ucap Zayden dengan perasaan lega. Cowok itu kecewa karena Gavy tidak meresponnya, yang terdengar hanyalah suara mesin monitor yang berada di sisi Gavy.

Tidak terasa, lima menit lagi waktu yang Zayden punya. Cowok itu lega karena sudah berpamitan dengan Gavy walaupun dengan cara yang tidak diinginkan. Zayden bangkit dan membuang napasnya kasar.

"Jangan terlalu lama tidurnya, Gav."

Zayden mulai melangkah meninggalkan Gavy sendirian di ruangan itu. Namun, suara mesin monitor yang berbunyi dengan nyaring itu menghentikan pergerakannya. Dia menoleh kembali ke arah Gavy, wajahnya yang terlihat tenang dengan posisi yang masih sama.

Teettt!

"Gav?"

"DOKTERR!!!"

"DOKTERRR!!"

Zayden berlari keluar dengan cepat. Dia mandadak linglung. Cowok itu mengumpat dalam hati karena tidak kunjung menemukan seorang pun dokter di sana. Bagaimana bisa? Jika seperti ini tutup saja rumah sakitnya. Pikir Zayden.

Seorang dokter yang diikuti oleh tiga orang perawat itu berlari ke ruang IGD. Tubuh Zayden langsung dihadang oleh seorang perawat itu dan memintanya untuk menunggu di luar ruangan.

"Bang, ada apa?" tanya Adnan yang baru datang dengan Sakya dan Raymond.

Zayden memejamkan matanya sekejap. "Detak jantung Gavy semakin lemah," jawab Zayden dengan lesu.

Sakya menatap Zayden tidak percaya. Rasanya begitu sulit untuk menerima kenyataan menyakitkan ini. Dia tidak mau kehilangan sahabat seperti Gavy. Dan itu tidak akan terjadi.

"Gimana ini, Mon?" Adnan menumpukkan kepalanya di dinding rumah sakit. Cowok itu seperti kehilangan semangat untuk menjalani semuanya.

Raymond hanya menggeleng pelan. "Gue juga nggak tau, Nan."

Saat ini mereka hanya bertiga karena tadi Razzen di telpon oleh orang tuanya agar cepat untuk pulang ke rumah, sepertinya ada masalah yang lumayan serius. Razzen sempat bimbang, cowok itu bingung harus memilih pulang atau tetap berada di rumah sakit. Akan tetapi, Raymond yang telah meyakinkan Razzen bahwa masih ada Sakya, Adnan dan dirinya yang akan menemani kedua sahabatnya di rumah sakit, biarlah Razzen menyelesaikan masalahnya yang lain.

Nimbostratus || Garavy [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang