01; Hari pertama masuk Kerja.

95.6K 2.2K 16
                                    

"Moiii! Bangun, nanti telat ke kantornyaaa!"

Ketukan demi gedoran menghantam pintu cokelat yang tidak bersalah itu, wanita setengah baya yang masih terlihat cantik dan segar meneriaki anak perawannya yang berada di balik pintu tersebut.

"MOIIII!! AYOO BURUAN BANGUNN!!! UDAH JAM ENAM PAGI INIIII!!"

"MOIII, BUDEG! BANGUNNN!!! WOII! BANGUN, WOII!!"

Teriakan demi teriakan terus mengalun merdu, menembus pintu dan sampai tepat ke telinga seorang wanita muda bertubuh berisi yang tengah menyisir rambut hitam legamnya. Biarlah ibunya terus teriak-teriak memanggilnya dan mengatainya 'BUDEG', Aruna juga sudah capek terus menjawab 'Iya, Moi udah bangun!' dari tadi.

"Hahh.."

Nasib punya ibu yang agak budeg ya gini.

Setelah menyemprotkan parfum beraroma Vanilla manis, Aruna menyambar tas kerjanya dan kemudian membuka pintu kamar.

Plak!

Suara telapak tangan bersentuhan dengan kulit wajah terdengar ngilu, Aruna meringis seraya menyentuh wajah tembem nya.

"Aduh, Mah!"

Wanita itu terkejut karena tindakannya sendiri, dia langsung mengusap-usap kulit wajah Sang anak dan berkata. "Astaga! Maafin Mamah, Moi, Mamah gak sengaja, suer dah! Lagian kamu sih, di panggil dari tadi sama Mamah gak nyaut-nyaut."

"Lagian Mamah sih, di jawab dari tadi Sama Moi, tapi Mamahnya gak denger-denger! Pake segala ngatain aku budeg lagi." Balas Aruna menyindir dan mengikuti kata-kata ibunya dengan kesal.

"Eh- hehehe.." Ibunya hanya cengengesan, "Maafin Mamah, Yaaa, Mamah kira kamu masih tidur, eh ternyata udah rapih begini."

"HM." Dehem Aruna sebal dan ibunya tertawa kecil. Jemari kurus dan sedikit keriput milik Sang Ibu mengelus pelan pucuk kepala Aruna.

"Ayo sarapan dulu, Mamah udah masak tumis kangkung sama sambel terasi kesukaan kamu, loh~" Goda wanita itu, Aruna yang asalnya masih kesal kini membuang kekesalan itu dan tersenyum sumringah.

"Lego!" Seru Aruna lalu menggandeng lengan ibunya dan berjalan beriringan menuju meja makan.

Kedua ibu dan anak itu sarapan bersama dengan penuh canda tawa. Kadang Sang ibu menyuapi anaknya dan sebaliknya. Sungguh keluarga kecil yang bahagia.

Meskipun tidak ada seorang pemimpi keluarga.

Tujuh tahun yang lalu keluarga kecil ini beranggotakan tiga orang; Ayah, Ibu dan anak.

Dulu, Mendiang Ayah Aruna adalah seorang pekerja yang memperbaiki masalah-masalah yang terjadi di awak kapal laut, saat melakukan pekerjaannya dia meninggal karena kecelakaan yang terjadi saat tengah memperbaiki bagian bawah kapal yang tengah berlayar.

Demi istri dan anaknya di rumah, Beliau rela mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Waktu itu Aruna masih SMP tahun terakhir, saat mendengar kabar tersebut dia langsung berlari pulang ke rumah dan menemukan Ibunya tengah menangis tersedu-sedu sembari memeluk peti jenazah Ayahnya.

Itu adalah waktu di mana keluarga kecil tersebut sangat hancur. Nahkoda yang menjalankan tugasnya sudah gugur, mengingkari janjinya untuk tetap bersama-sama hingga sampai tujuan, meninggalkan dua orang yang selalu dia lindungi dan meninggalkan tanggung jawab besarnya pada Sang Anak.

Aruna dan ibunya bisa bertahan hidup hingga sekarang itu karena atasan mendiang Ayahnya selalu mengirimkan uang pertanggung jawaban atas meninggalnya Ayah Aruna setiap bulan, itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua.

Kini, Aruna sudah dewasa dan seharusnya sudah siap menerima tanggung jawab yang di berikan Mendiang Sang ayah padanya.

"Mah, aku berangkat kerja dulu, udah jam setengah tujuh. Ini hari pertama kerja anak mu, Doain semoga lancar yaaa," Aruna memeluk ibunya dan mengecup pipinya sekilas.

Wanita itu tersenyum manis dan mengangguk, "Pasti, Mama bakalan selalu doain kamu supaya kerjanya lancar dan kamu baik-baik di tempat kerja sana."

Aruna kemudian pergi meninggalkan rumah setelah mendapatkan serbuan ciuman di seluruh wajahnya kecuali bibirnya.

• • • •

Menghalau sinar matahari pagi menggunakan telapak tangannya, Aruna menyipit menatap huruf-huruf kapital yang terbentang jelas di gedung besar yang menjulang tinggi di depannya.

Z.E CROUP.

"Semangat!" Bisiknya menyemangati diri sendiri, Menahan rasa gugup yang luar biasa.

Tentu saja dia merasakan kegugupan yang luar biasa seperti itu, karena selama empat tahun belakangan ini Aruna hanya menghabiskan waktu di sekitar rumahnya saja setelah menyelesaikan pendidikan SMA nya, membantu Sang ibu memasak lauk pauk untuk di titipkan di warung nasi terdekat dan di jual lalu mendapatkan uang tambahan sehari-hari, membantu Sang ibu untuk mengurus rumah dan kadang-kadang Aruna juga jalan-jalan di sekitar rumahnya saja.

Kalau ada orang yang bertamu ke rumah itu Aruna selalu memanggil ibunya dan kemudian bersembunyi di dalam kamarnya sendiri atau berdiam diri di balik dinding dapur.

Jika mengikuti kata orang-orang zaman sekarang ini, Aruna itu punya sifat yang lumayan Introvert.

Aruna memiliki seorang teman, itu adalah tetangga sebelah rumahnya tapi temannya itu sudah pergi setengah tahun lalu ke luar negeri untuk membentuk karirnya sendiri. Aruna tentu saja mendukungnya dengan sungguh-sungguh tapi dia juga merasa sedih di hati karena temannya itu akan pergi jauh dan lama. Tapi rasa sedih itu tidak lama, karena Aruna masih memiliki seorang Mamah di sisinya.

Aruna berjalan memasuki gedung perusahaan tersohor yang diidam-idamkannya semenjak Aruna memasuki pintu SMP tahun pertama. Perusahaan Elektronik terbesar di dunia.

Di lobi Aruna sudah melihat para pekerja berlalu lalang dengan cepat, Aruna di panggil oleh wanita penjaga resepsionis, "Nona Ciel!"

"Ah, Ya!" Aruna berjalan cepat menuju resepsionis dan melihat wanita cantik itu yang tersenyum tapi terlihat tidak tenang dengan jari telunjuknya yang terus-menerus mengetuk meja sebatas dadanya itu.

"Ada apa, Nona Amber? Apa saya terlambat?" Tanya Aruna setelah berdiri di depan meja, Wanita cantik yang bernama Amber Elie itu menggeleng cepat.

"Tidak, kamu datang tepat waktu!"

Aruna menghela nafas lega.

"Tapi ini gawat!" Lanjut Amber panik dan membuat Aruna tidak jadi lega dan malah ikut panik.

"Apa, apa? Kenapa? Apa yang gawat?"

Amber menampar meja resepsionis yang terbuat dari batu marmer dengan kencang dan membuat Aruna terperanjat kaget, "Presdir akan datang ke sini!"

"Hah?" Beo Aruna tidak paham.

Si Montok Milik Presdir - END [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang