Chapter 14: Lunch

2.9K 161 7
                                    

Saat jam makan siang tiba, Jaco mengajak Crist untuk makan siang diluar. Dengan harapan Crist bisa merasa lebih baik dari sebelumnya akibat kejadian secara mendadak yang tidak disangka-sangka tadi pagi.

Apalagi sepanjang meeting berlangsung tadi Crist lebih banyak diam, biasanya juga diam memperhatikan yang sedang presentasi. Namun, hari ini wajahnya terlihat begitu sendu hingga membuat Jaco khawatir.

Crist diam bukan tanpa alas an sebenarnya, dia memang shock dengan serangan semendadak itu. Namun dia lebih memikirkan bagaimana mengatasi rasa malunya yang sudah menggunung di depan Jaco yang melihat kejadian itu. Apalagi bosnya sudah mempunyai pasangan dan anak, dia takut kalau dirinya menjadi duri dalam hubungan keluarga bosnya. Hancur sudah reputasinya sekarang.

Apalagi sedari tadi Crist sadar kalau Jaco sering memperhatikannya membuat pikirannya semakin kemana-mana sekarang ini. Rasanya ingin menolak ajakan makan siang dari Jaco saat ini, namun wajahnya terlihat seperti memohon agar dirinya pergi dengan pria ini. Dia menghela nafas sebentar dan mengiyakan ajakan rekan kerjanya.

Crist hanya bisa pasrah kalau dirinya akan di cap buruk dan mungkin nanti dia akan di introgasi oleh Jaco.

“Pesanlah yang kamu mau, Crist,” ucap Jaco memberikan buku menu padanya.

Mereka makan siang di sebuah kafe yang terletak tak jauh dari kantor mereka. Tadinya Crist memberikan opsi makan di kantin karyawan agar Jaco tak bertanya macam-macam atau membahas tentang tadi karena memang kantin karyawan sangat ramai. Namun ditolak mentah-mentah oleh Jaco. Dan disinilah mereka sekarang di kafe yang tak terlalu ramai pengunjung namun suasanya begitu nyaman untuk makan siang sembari mengobrol.

“Kamu dulu aja.” Crist mendorong buku menunya kearah Jaco.

Jaco menggelengkan kepalanya dan menyuruh Crist untuk memesannya terlebih dahulu. Pada akhirnya Crist menerima buku menu itu dan membukanya, sedikit terkejut karena harganya mungkin akan cukup menguras kantongnya yang sedang berhemat ini. Tapi, tak mungkin juga Crist tak memesan sesuatu sedangkan mereka sudah duduk disini. Sungkan juga jika harus mengajak Jaco pergi dari sini dan pindah ke tempat yang agak affordable di kantong.

“Aku pasta aja sama lemon tea.”  Crist kembali menggeser buku menunya pada Jaco agar dia juga memesan sesuatu.

Jaco menganggukkan kepalanya dan memilih makan siang untuknya. Setelah memilihnya dia memanggil waiters agar dia mencatat pesanan mereka. Suasana cukup canggung ketika waiters itu sudah pergi dari hadapan mereka. Crist gugup ditatap dengan sebegitunya oleh Jaco.

“Crist are you okay?” tanya Jaco.

Perkiraan Crist tak meleset bukan, pasti Jaco mengajaknya makan siang bersama untuk menanyakan tentang kejadian tadi. Bagaimanapun Crist memang tak bisa lari bukan, karena Jaco sudah melihat dengan matanya sendiri.

“Kalau aku jawab enggak, bagaimana?” tanya Crist sambil menundukkan kepalanya karena sugguh dia sudah kepalang malu.

Tiba-tiba ada sebuah tangan dipundaknya. Dan itu berasal dari Jaco yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku tak tahu harus bicara apa, tapi aku hanya berharap kau bisa kuat menjalani pekerjaan ini  atau kau ingin mengajukan resign nanti aku bantu memberikan suratmu pengunduranmu pada Mr. Sergio.”

Crist menghela nafas, “Aku bingung, Jaco.”

“Kenapa?”

“Kau tentu tahu aku butuh uang untuk bertahan hidup, apalagi kau juga pernah melihatku frustasi di jembatan sambil teriak-teriak ga jelas karena menganggur sampai kau mengira aku ingin bunuh diri. Kalau aku keluar dari Jinx SR lalu bagaimana aku bisa mencukupi kebutuhanku,” jawab Crist.

“Kau tulang punggung keluarga ya?” terka Jaco.

Crist menggelengkan kepalanya, haruskah ia menceritakan kisah hidupnya pada seseorang yang menjadi rekan kerjanya kurang dari dua bulan ini? Tapi cepat atau lambat pasti akan tahu bukan.

“Aku bertahan hidup untuk diriku sendiri.”

“Keluargamu di luar kota?”

“Nggak, mereka sudah tidak ada di dunia ini. Kalau kau pernah dengan kebakaran besar sekitar dua bulan lalu di Jl. Bidergten itu adalah rumah orang tuaku, dan mereka menjadi korban dalam kebakaran itu bersama adikku.”

Jaco terlihat begitu terkejut dengan cerita singkat hidup Crist. Kini wajah itu terlihat begitu bersimpati pada Crist yang sedang bersedih hati karena harus mengorek luka yang belum kering dan harus semakin menganga lebar karena membawa cerita itu ke permukaan. Sungguh sampai sekarang terkadang Crist masih tidak menyangka kalau dirinya kini hidup seorang diri di dunia ini.

Hidupnya yang awalnya serba berkecukupun dengan kasih sayang yang melimpat dari orang tuanya kini harus hilang dalam sekejap mata. Crist harus banting tulang demi menghidupi dirinya sendiri sekarang. Terkadang dia tak kuat menjalani hidup yang ternyata begitu keras ketika menjalaninya seorang diri ini, namun dia harus tetap kuat untuk dirinya sendiri.

Dia tak boleh mengecewakan kedua orang tuanya yang selama ini sudah begitu banyak berkorban demi meraih pendidikannya yang tentu saja tidak murah. Mereka pasti akan kecewa padanya jika ia menyerah, makanya Crist mencoba kuat dengan hidup ini. Meskipun yang terberat menghadapi bos-nya yang bossy dan selalu seenaknya sendiri dengan semua keinginannya yang harus selalu dituruti.

“Aku turut berduka atas apa yang terjadi, semoga mereka bisa tenang disana. Lalu kau tinggal dimana setelah rumahmu kebakaran, atau rumahmu itu sudah diperbaiki?” tanya Jaco.

“Nggak, rumah itu hancur lebur hanya tersisa abu dari sisa kebakaran. Tak bisa ditempatin sekarang, aku tinggal bersama temanku tak jauh dari sini kok untuk sementara waktu. Makanya aku harus bekerja setidaknya aku tak ingin merepotkan dia.”

“Oh begitu, lalu berarti kamu nggak resign dari perusahaan ini? Apalagi mungkin kejadian tadi mungkin bisa saja terjadi lagi loh,” ucap Jaco.

“Entahlah, apa kau juga pernah mendapatkan seperti kejadian tadi?” tanya Crist penasaran.

Jaco menggelengkan kepalanya karena memang benar adanya. “Nggak, aku sudah ikut dengan Mr. Sergio sejak perusahaan ini dibangun dan yang terpenting aku sudah menikah. Mungkin karena dua hal itu Mr. Sergio tidak melakukan hal itu.”

“Aw, kau sudah menikah ternyata aku pikir kamu masih single, Jaco. Kau tak terlihat seperti sudah menikah.”

“Kau bisa aja, tapi aku khawatir denganmu. Apa kau tidak ingin resign saja sebelum semuanya semakin jauh,” ucap Jaco.

“Apa sekretaris sebelum-sebelumnya juga mendapatkan perlakuan itu karena ketika hari pertama masuk ke sini. Aku mendengar karyawan dari departemen lain ada yang menggosip kalau banyak sekretaris sebelumnya keluar dan tak bertahan lama.”

Kalau memang benar adanya seperti apa yang Crist pikirkan, sungguh bosnya ini pasti bukan manusia. Melainkan iblis yang menyamar karena kelakuannya yang seperti itu. Pantas saja tak ada yang mampu bertahan lama, sifat baiknya hanya tampil di media saja. Padahal kenyataannya berbeda 180 derajat.

.
.
.
.
.

Jaco

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jaco


Ayo hujat terus Crist, korek semua informasi dari Jaco wkwkw

Hayoloh kira-kira apa jawaban jaco, sama dengan pikiran Crist apa beda nih?

See you next chapter.
28 mei 2024

The Seductive Boss Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang