Chapter 23: Luapan Emosi

3.2K 184 15
                                    

Meeting dengan Group Lorenzee berjalan dengan lancar. Meskipun agak telat Sergio dan Crist datangnya, namun perwakilan dari Group Lorenzee mau menunggu. “Sekretarismu manis juga,” ucap CEO dari Group Lorenzee saat meeting sedang selesai dan mereka sedang membereskan barang bawaan masing-masing.

“Memangnya kenapa?” tanya Sergio heran pasalnya baru kali ini CEO Group Lorenzee yang juga temannya itu memuji orang yang ia bawa.

“Kalau kau bosan dan memecatnya aku akan mengambilnya.” Tercetak senyuman miring disana.

Bukan menjadi rahasia lagi kalau Sergio sering kali bergonta-ganti sekretaris. Bahkan sampai publik juga tahu akan hal itu. Jadi, tak heran ada yang menanyakan kapan dia memecat Crist.

“Terus bayangkan saja, Jhon. Karena tak akan pernah itu terjadi.”

Setelahnya dia bangkit dan mengajak Crist keluar dari sana. Melihat tempramen Sergio yang masih saja buruk membuat temannya tadi tertawa. “Ck, padahal aku hanya  menggodanya saja,” gumam Jhon melihat respon Sergio setelahnya.

Sedangkan Crist kebingungan melihat Sergio yang tiba-tiba emosi, padahal tadi waktu meeting semua terlihat baik-baik saja. Tak ada perdebatan diantara bosnya dan klien mereka, namun kenapa tiba-tiba begini.

Dia juga kesulitan mengimbangi langkah lebar Sergio, dia sampai hampir berlari karena Sergio terlalu cepat, apalagi Crist juga harus menahan rasa sakit juga di bagian bawahnya yang belum sembuh. Mungkin habis ini akan lecet lagi karena dia tak bisa jalan pelan-pelan. Dalam hati dia merutuki Sergio yang tak memikirkannya. Tapi, memangnya dia siapa? Kenapa juga Sergio harus memikirkan dia.

Baru saja mereka masuk ke dalam mobil dan bahkan belum melaju. Sergio dengan cepat mengangkat tubuh ramping Crist membawa ke pangkuannya. Dan langsung menciumnya dengan begitu brutal dan menggebu-gebu hingga Crist tak dapat mengimbanginya. Crist bisa merasakan ada luapan emosi yang disalurkan di pangunan mereka. Terkesan berantakan hingga membuat Crist sesak sendiri.

Apalagi tangan Sergio juga tak mau diam, sepanjang ciuman itu berlangsung Sergio meremas-remas bokongnya dengan begitu kuat hingga membuat Crist merintih kesakitan. Apakah Sergio peduli dengan kesakitan Crist? Tentu saja tidak, Sergio dengan brutal bergerak seenaknya tanpa memikirkan Crist. Berulang kali Crist mendorong dada Sergio agar pangutan mereka terlepas, namun nyatanya tak bisa emosi Sergio begitu tinggi.

Bahkan mobil yang mereka kendarai terasa begitu pelan bagi Crist, entah apa yang dipikirkan oleh sopir yang membawa mereka ini. Mungkin hubungan sesama jenis disini sudah biasa meraja lela. Namun, tetap saja Crist malu.

Decapan terdengar di mobil itu dengan begitu keras diiringi rintihan Crist akibat tubuhnya disentuh oleh Sergio.

Crist langsung terkulai lemas dengan kepalanya ia sandarkan ke pundak lebar Sergio ketika ciuman mereka berhenti. Begitu pula dengan Sergio yang menyandarkan tubuhnya dan meraup udara sebanyak-banyaknya. Dia memeluk tubuh Crist dan melabuhkan kecupan tipis di kening Crist.

“Kenapa?” tanya Crist lirih sambil mengatur nafasnya yang masih tak beraturan.

“Tak apa,” jawab Sergio singkat. Crist juga tak tanya lagi kalau Sergio sudah menjawab demikian.

Crist berpindah dari pangkuan Sergio dan duduk di sampingnya. Dia menyandarkan tubunya yang masih terasa lemas. Kakinya juga pegal sedari tadi menahan tubuhnya ketika berada di pangkuan Sergio.

Ketika ia melihat ke depan, sopir terlihat melirik sedikit ke area belakang. Itu membuat Crist berniat beringsut menjauh dan agak menjaga jarak antara mereka. Namun, baru menggeser tubuhnya tak ada sejengka. Sergio dengan mudah menariknya kembali dan merapatkannya ke tubuhnya. Tangannya melingkar di pinggang Crist yang ramping.

“Lepas, aku malu diliat sopir,” bisik Crist ditelinga Sergio

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Lepas, aku malu diliat sopir,” bisik Crist ditelinga Sergio.

Sergio yang mendengar itu sontak berkata, “Jaga pandanganmu, jangan lihat ke belakang.”

Terlihat sopir itu langsung menegakkan badannya ketika mendapat teguran dari Sergio. “Maafkan saya, Mr.”

Permintaan maaf itu tak diindahkan oleh Sergio, dia justru sibuk menyandarkan kepalanya ke pundak Crist. Sembari kedua tangannya memeluk tubuh Crist.

‘Sergio emang semanja ini ya?’ tanya Crist dalam hati. Dia memilih diam saja seperti patung.

Suasana mobil begitu sunyi, tak ada yang berbicara. Sergio yang sepertinya tertidur dan Crist memilih terjaga sembari melemparkan pandangannya keluar jendela. Melihat jalanan yang begitu ramai dipenuhi turis dari berbagai negara.

Roma memang sebuah kota yang wajib dikunjungi kala bertandang ke Italy, disini hampir identik dengan sejarah dan selama berabad-abad merupakan salah satu kerajaan terbesar yang pernah dikenal dunia.

Roma adalah kota yang sempurna untuk dijelajahi dengan berjalan kaki. Berjalan-jalan di sekitar pusat kota dan melihat pemandangan menakjubkan seperti Spanish Steps dan Air Mancur Trevi yang mengesankan. Sembari menikmati segelas anggur Italia dan masakan lokal yang lezat di alun-alun seperti Pizza Navona. Apalagi kalau malam hari disini lebih ramai karena banyak warga lokal juga yang menikmati waktunya sembari menonton musik jalanan untuk menghibur hati. Banyak pasar tradisional juga yang menyajikan makanan khas Itali.

Crist sebenarnya ingin berjalan-jalan sendiri mumpung ada disini, namun dia tak berani ijin pada Sergio. Apalagi mereka kesini juga bukan untuk liburan melainkan untuk kunjungan kerja. Jadi, sepertinya Crist harus mengubur keinginannya dalam-dalam.

“Sudah sampai?” tanya Crist pada sopir saat mobil yang mereka tumpangi berhenti.

“Benar, tadi Mr Sergio berpesan pada saya membawanya ke sini.”

Crist melihat ada bangunan agak kuno yang berdiri megah disana. Ini bukan hotel tempat mereka menginap, lantas di mana ini? Crist menepuk pundak Sergio perlahan untuk membangunkannya.

Terlihat Sergio langsung terbangun dari tidur nyenyaknya yang hanya sebentar itu. Dia melihat kearah Crist. Crist yang seolah paham dengan tatapan Sergio sontak berkata. “Kita sudah sampai di Laberiam, katan sopir kamu meminta ke sini.”

“Ayo turun.”

Entah tempat apa itu karena terkadang bangunan di Italy sulit ditebak. Pernah Crist masuk ke sebuah gedung ia kira restoran. Ternyata itu adalah museum sejarah, salahnya juga tak mencari informasi tentang sebuah tempat di internet dulu dan malah langsung masuk begitu saja.

Sepertinya Crist harus memuji pilihan Sergio kali ini, dia menahan senyumnya kala melihat dimana ia diajak sekarang. Kira-kira kemana Sergio mengajak Crist?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Ada yang bisa nebak Crist diajak kemana nih?

Jangan lupa tinggalkan jejak ya usai membaca.

See you next chapter

The Seductive Boss Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang