Chapter 2: Seperti Ingin Mati

6.2K 292 5
                                    

"Nyonya ternyata ada satu orang dalam keluarga kemarin yang rumahnya kami bakar selamat karena kebetulan dia saat itu tak di rumah." Seorang pria mengatakannya dengan menundukkan diri, tidak berani mengangkat wajahnya karena dia dan yang lain baru saja melakukan kesalahan.

"Siapa yang selamat?" tanya wanita paruh baya yang duduk anggun di kursi kebesarannya.

"Cristian Caldwell, Nyonya."

"Ah, ternyata anak itu selamat. Biarkan saja dia hanya pria polos yang tak tahu apa-apa, yang terpenting orang tuanya sudah tewas."

"Anda yakin tak ingin kami menghabisinya?"

"Tak usah,"

Setelahnya pria yang merupakan bodyguard sekaligus yang bertugas melaksanakan perintah dari sang atasan nyonya tadi keluar dari ruangan itu. Wanita paruh baya itu memegang satu figura kecil dan memandanginya dengan senyum puas.

"Inilah akibatnya kalau tak menurut denganku, uang memang bukan segalanya. Tapi, segalanya butuh uang."

***

"Kau mau cari kerja di mana Crist?"

"Entahlah, Kak Gian. Aku juga belum tahu harus memulai cari di mana," jawab Crist dengan lesu.

Gian yang mendengarnya menjadi iba. Dia sangat ingin membantu Crist sekarang, tapi dirinya juga tidak mempunyai informasi lapangan pekerjaan. "Maaf, Crist. Aku tak bisa membantu, di tempat kerjaku juga sedang tidak ada lowongan."

"Nggak apa-apa kok, Kak. Aku justru berterima kasih karena sudah mau menampungku. Aku janji kalau aku sudah kerja, aku akan pindah dari sini." Crist tersenyum manis meskipun dalam hatinya juga bingung harus mencari ke mana.

"Hey, jangan begitu. Kau bisa kok tinggal disini sampai kapanpun itu, aku malah seneng karena jadi ada temannya. Toh, kamar yang satu itu juga kosong. Nggak apa-apa kok kalau kamu tempatin. Jangan sungkan, Crist. Aku merasa mempunyai adik dan tidak kesepian lagi karena ada kau," ucap Gian panjang lebar sambil menepuk pundak Crist berharap Crist melihat kesungguhan dalam setiap kata yang dia lontarkan barusan.

Crist menganggukkan kepalanya, rasanya dia bersyukur sekali karena bisa bertemu dengan Gian yang begitu baik hati pada dirinya yang sebenarnya bukan siapa-siapa ini. Setidaknya dia kini merasa tidak sendirian setelah kepergian orang tua dan adiknya karena ada Gian yang mau membantunya. Dalam hati Crist berjanji akan selalu membantu Gian sebisa dirinya.

Setelah Gian berangkat bekerja, kini Crist seorang diri di apartement biasa dengan dua kamar kecil di dalamnya. Crist meminjam laptop Gian untuk menulis lamaran pekerjaan, untungnya ijazahnya tidak ikut terbakar karena pada saat kejadian Crist baru ke kampus untuk mengambil itu. Jadi, sekarang dia bisa menggunakannya untuk mencari pekerjaan dan memulai hidupnya kembali.

Seperti yang dikatakan oleh orang tuanya Crist harus bangkit dan kuat. Kalau dirinya terus-terusan sedih meratapi kepergian keluarganya, yang ada mereka di atas sana juga pasti akan sedih melihat Crist yang meratapi mereka.

Crist berjalan dari satu perusahaan ke perusahaan lain untuk menanyakan lowongan pekerjaan. Dari pagi dia melakukannya sampai larut malam, namun sayangnya belum ada perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. Sudah dua hari dirinya mencari baik datang langsung, ataupun mengirim cv-nya lewat email. Namun, nyaatanya sampai sekarang dirinya tak kunjung mendapatkan pekerjaan.

Terduduk lemas di kursi taman yang menghadap Sungai Antaria di depannya. Hari sudah larut malam, namun Crist belum ada niatan pulang ke apartement Gian. Dia menundukkan kepalanya menahan isak tangisnya yang terasa sesak dalam dadanya.

Dia baru merasakan betapa susahnya mencari pekerjaan. Sedangkan dulu dia hanya tahu meminta saja dengan orang tuanya. Kini dia menyesali perbuatannya dulu, bukannya membahagiakan orang tuanya Crist justru menyengsarakan mereka dengan meminta uang kuliahnya yang begitu mahal.

The Seductive Boss Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang