Pagi itu, saat matahari mulai menyinari kamar, Rendra sudah bangun lebih dulu, menatap Eriska yang masih terlelap dengan senyum lembut di wajahnya. Ketika Eriska akhirnya membuka matanya, Rendra menyambutnya dengan hangat.
"Selamat pagi, sayang," ujarnya lembut, membelai rambut Eriska dengan penuh kasih. "Semangat ya buat kuliahnya hari ini."
Eriska tersenyum tipis, masih terasa mengantuk, tapi kehangatan Rendra membuatnya sedikit lebih bersemangat. Rendra kemudian mendekat dan memberikan kecupan lembut di keningnya. Namun, tak lama setelah itu, Eriska tiba-tiba merasa mual yang kuat di perutnya.
Dengan cepat, ia bangkit dari tempat tidur, berlari ke kamar mandi sambil menahan rasa mual yang mendesak. Rendra, yang terkejut melihat reaksinya, segera menyusul ke arah kamar mandi, wajahnya berubah menjadi cemas.
"Eris, kamu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir, berdiri di ambang pintu sambil mengamati Eriska yang sedang membungkuk di dekat wastafel, berusaha menenangkan dirinya.
Eriska menggelengkan kepala pelan sambil menarik napas, menenangkan diri. "Aku... nggak tahu, tiba-tiba aja mual," jawabnya, suaranya terdengar lemah.
Rendra mengusap punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkannya. "Kalau masih merasa nggak enak, kita bisa ke dokter nanti," katanya dengan suara lembut penuh perhatian.
Meskipun tubuhnya masih terasa lemah, Eriska tetap bertekad untuk berangkat kuliah. Hari ini adalah ujian akhir semester, dan dia tidak ingin melewatkan kesempatan penting ini. Dengan susah payah, dia menenangkan dirinya, mengenakan seragamnya, dan berusaha tampak seperti biasa.
Rendra memandang Eriska dengan cemas saat melihatnya bersiap-siap. "Eris, kalau kamu merasa nggak kuat, nggak apa-apa kok izin dulu. Kan kamu bisa susulan," katanya, mencoba meyakinkannya.
Eriska menggelengkan kepala, menampilkan senyuman kecil untuk meyakinkan Rendra. "Nggak apa-apa, Mas. Aku bisa kok. Ini kan ujian semesterku. Aku nggak mau tertinggal," balasnya dengan suara yang terdengar sedikit dipaksakan.
Rendra terdiam sejenak, lalu dengan berat hati mengangguk, menyadari tekad Eriska yang kuat.
"Baiklah, tapi kalau merasa nggak enak lagi, kabari Mas, ya? Jangan memaksakan diri terlalu keras," katanya, menyerahkan tas Eriska dan memberinya pelukan hangat.
Setelah itu, Rendra mengantar Eriska hingga ke depan kampus, memastikannya sampai dengan selamat. Dia menatap Eriska dengan penuh perhatian saat gadis itu berjalan memasuki gedung, terlihat sedikit lesu tapi tetap berusaha tegar. Meski Rendra merasa tidak tenang, dia tahu Eriska memiliki tekad yang besar untuk menghadapi tantangan yang ada.
Sesampainya di ruang ujian, Eriska mengatur napasnya, mencoba fokus pada soal-soal yang ada di hadapannya. Namun, sesekali rasa mual itu kembali muncul, memaksanya untuk mengatur ulang konsentrasinya. Meski begitu, dia menahan diri dan berusaha yang terbaik, membuktikan bahwa tekadnya lebih kuat dari rasa tidak nyaman di tubuhnya.
***
Febby mendekati Tessa di lorong kampus, saat Tessa sedang berbicara dengan beberapa temannya. Tessa yang melihat kedatangan Febby sempat terlihat terkejut, namun dengan cepat menyembunyikan reaksinya dan memasang wajah biasa.
"Heh, Tess, gue mau ngobrol bentar," kata Febby dengan nada ramah namun tegas. Teman-teman Tessa memberi ruang untuk Febby, meninggalkan mereka berdua.
Tessa berusaha tersenyum tipis. "Oh, iya, ada apa, Kak?"
Febby menatap Tessa dengan pandangan penuh perhatian. "Gue cuma mau tanya, Tess, ada masalah apa sama Eriska? Gue lihat akhir-akhir ini kalian agak jauh. Kalau emang ada yang salah, coba deh kalian bicarain baik-baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me
RomanceSetelah terbangun dari koma, Eriska belajar mengingat semua yang telah terjadi padanya. Termasuk cinta pertamanya