Rendra berlari cepat menyusuri lorong rumah sakit, mengejar sosok Eriska yang bergerak dengan panik. Ia bisa merasakan kekhawatiran dan ketakutan Eriska dari gerak tubuhnya, dan itu membuat hatinya semakin remuk. Mungkin, dalam euforia kebahagiaannya, ia lupa memikirkan bagaimana perasaan istrinya yang kini tampak begitu kalut.
"Eris, tunggu! Maafkan aku...," Rendra berseru, suaranya penuh dengan nada penyesalan.
Eriska tidak berhenti. Langkahnya semakin cepat, mencoba menjauh dari Rendra dan segala hal yang sedang mengelilingi pikirannya. Namun, Rendra tidak menyerah. Ia tetap berusaha menyusulnya dengan napas yang semakin cepat.
Akhirnya, di sebuah taman kecil di belakang rumah sakit, Rendra berhasil menyusul Eriska. Ia melihat Eriska duduk di bangku, wajahnya terbenam di kedua tangannya, bahunya bergetar, menandakan bahwa ia sedang menangis dalam kesendirian.
Rendra mendekati Eriska perlahan, lalu berlutut di depannya. Ia menggenggam tangan Eriska yang masih terisak-isak.
"Eris... maafkan aku. Aku terlalu terbawa kebahagiaanku sampai lupa bagaimana perasaanmu," ucap Rendra lirih, suaranya bergetar. "Aku tahu ini semua terjadi begitu cepat, dan mungkin kamu merasa belum siap. Tapi aku akan selalu ada di sampingmu, apapun yang terjadi. Kita bisa menghadapi ini bersama."
Eriska akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Rendra dengan mata yang masih basah. "Aku... aku takut, Mas," katanya, suaranya bergetar. "Aku nggak tahu apakah aku bisa menjalani semua ini... Menjadi seorang ibu... Aku takut kalau aku akan gagal..."
Rendra mengusap air mata di pipi Eriska dengan lembut. "Sayang, tidak ada yang harus kamu takutkan. Kamu nggak sendirian. Aku akan selalu di sini untuk mendukungmu. Kita akan belajar, sama-sama. Kalau kamu merasa nggak siap, aku akan menjadi penopangmu. Aku juga takut, Eris. Tapi aku tahu, selama kita saling mendukung, kita pasti bisa melewati ini."
Eriska terdiam sejenak, menyerap kata-kata Rendra yang penuh ketulusan. Perlahan, ia merasakan beban di dadanya berkurang. Keberadaan Rendra yang lembut dan penuh pengertian membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Ia mengangguk pelan, akhirnya memberikan senyum kecil di antara air matanya. "Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara pelan. "Aku... aku akan berusaha lebih kuat, kalau Mas ada di sampingku."
Rendra tersenyum lega, lalu menarik Eriska ke dalam pelukannya, menenangkannya dengan dekapan hangat. "Kita jalani ini sama-sama, ya, Sayang."
Rendra menarik napas panjang, menatap dalam-dalam ke mata Eriska yang tampak cemas namun kini sedikit lebih tenang di sisinya. Ia tahu kata-katanya sebelumnya sudah membuat Eriska lebih merasa didukung, tapi ada satu hal yang masih menghantui pikirannya.
"Eris, aku benar-benar minta maaf," kata Rendra dengan suara penuh penyesalan. "Aku tahu kita belum benar-benar merencanakan ini... Kita belum siap, terutama kamu... dan aku merasa bersalah karena kita tiba-tiba harus menghadapi semua ini."
Eriska menatap Rendra, tampak terharu namun juga bingung. "Mas, bukan salahmu sepenuhnya. Aku juga... aku juga bagian dari ini. Mungkin aku takut karena aku merasa tiba-tiba ada banyak hal yang harus kupertimbangkan. Tanggung jawab besar. Aku takut nggak bisa jadi istri dan ibu yang baik."
Rendra menggeleng pelan, mengusap lembut tangan Eriska. "Ini bukan tentang salah atau benar, Sayang. Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku seharusnya lebih peka... Aku harusnya memastikan bahwa kita benar-benar siap sebelum kita berada di titik ini. Aku terlalu terbawa oleh cinta, dan mungkin aku jadi mengabaikan pentingnya perencanaan. Maafkan aku karena membuatmu merasa terbebani."
Eriska terdiam sesaat, lalu ia meremas tangan Rendra, mencoba meyakinkannya. "Mas, aku juga bagian dari keputusan ini. Mungkin kita memang nggak merencanakan semuanya dari awal, tapi aku percaya kita bisa jalanin ini sama-sama. Aku juga akan belajar dan berusaha jadi ibu yang baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me
RomanceSetelah terbangun dari koma, Eriska belajar mengingat semua yang telah terjadi padanya. Termasuk cinta pertamanya