Class Clash

25 2 0
                                    

Rendra mengamati Eriska yang duduk di kursi penumpang dengan tatapan kosong, sesekali memandang keluar jendela. Ketika dia menjemput Eriska di kampus, suasana hati istrinya terasa berbeda, lebih murung dan suram dari biasanya. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Eriska, meskipun ia tidak menunjukkan apa-apa.

Saat mobil mulai melaju, Rendra berusaha membuka pembicaraan dengan lembut, "Kamu baik-baik saja, Eris?"

Eriska hanya tersenyum tipis, namun tetap menatap ke luar jendela. "Aku nggak apa-apa, Mas."

Rendra tidak menyerah. "Kamu tahu aku bisa merasakan kalau ada yang kamu pikirkan," katanya, menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa yang terjadi di kampus?"

Eriska terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Akhirnya, dia menghela napas dan menjawab pelan, "Hanya... ada ribut kecil sama teman-teman. Nggak perlu khawatir, Mas. Aku bisa hadapi ini sendiri."

Rendra mengangguk perlahan, tapi masih tak bisa menghilangkan kekhawatirannya. "Kalau kamu butuh bicara, bisa sama Mas, ya? Kamu nggak harus menghadapi semuanya sendiri. Kita ini satu tim, Eris."

Eriska tersenyum lemah, merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata Rendra. "Makasih, Mas. Aku cuma butuh waktu untuk pikirin ini semua."

Rendra menggenggam tangan Eriska dengan lembut, memberikan dukungan dalam keheningan yang nyaman. "Baiklah, Mas akan ada di sini kapan pun kamu butuh, ya?"

Eriska menatapnya dan mengangguk, merasa lega meski masalahnya belum sepenuhnya terpecahkan.

Di tengah kesibukannya di ruang kerja, Rendra berhenti sejenak dari dokumen-dokumen yang sedang ia periksa. Ia mengangkat pandangannya, melihat Eriska yang duduk di sofa di sudut ruangan, tampak asyik memeriksa layar ponselnya sambil sesekali tersenyum kecil.

Rendra tersenyum, merasa damai melihat kehadiran istrinya di dekatnya. "Eris," panggilnya lembut.

Eriska menoleh, memperhatikan suaminya yang terlihat lebih rileks daripada biasanya. "Iya, Mas?"

Rendra menepuk pangkuannya dengan senyum kecil. "Come here, duduk di sini sebentar."

Eriska tersenyum malu-malu namun perlahan bangkit dari sofa dan mendekati Rendra. Tanpa ragu, ia duduk di pangkuannya, membiarkan Rendra melingkarkan lengannya di pinggangnya. Keheningan yang nyaman menyelimuti mereka berdua, diselingi suara berkas-berkas yang diletakkan di atas meja.

Rendra menatap Eriska dari dekat, tersenyum lembut. "Aku senang kamu di sini," katanya sambil mengusap lembut punggungnya.

Eriska tersenyum dan bersandar di bahunya. "Aku juga senang bisa menemani Mas. Rasanya... tenang."

Mereka terdiam dalam kehangatan kehadiran satu sama lain, menikmati momen tanpa kata-kata namun penuh dengan perasaan yang mendalam.

Rendra mengelus lembut rambut Eriska, menatapnya dengan penuh perhatian.

"Eris, Mas tahu kamu berusaha tegar," ujarnya dengan suara lembut. "Tapi kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran atau perasaanmu... apa pun itu, jangan ragu untuk cerita ke Mas, ya?"

Eriska terdiam sejenak, terharu mendengar nada lembut dan penuh perhatian dari suaminya. Ia tahu bahwa Rendra benar-benar peduli, dan ingin menjadi tempatnya bersandar.

"Aku hanya nggak mau merepotkan Mas... atau membebani dengan masalahku," jawabnya perlahan.

Rendra menggenggam tangannya dengan lembut, memberikan sentuhan penuh kehangatan. "Eris, aku suamimu. Apa pun yang mengganggu kamu, itu berarti juga penting buat aku. Aku ingin jadi orang yang selalu bisa kamu andalkan."

Remember meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang