Setiap hari Eriska mendampingi Rendra dalam proses terapinya, mendukungnya untuk mengatasi kecanduan alkohol yang telah membawa mereka ke jurang yang begitu dalam. Dia selalu berusaha ada untuk Rendra, membantunya melewati setiap sesi yang berat, mencoba menumbuhkan kembali kepercayaan yang sempat hancur.
Namun, meskipun hubungan mereka perlahan menunjukkan tanda-tanda perbaikan, Rendra masih menyimpan rasa takut dan penyesalan yang dalam. Setiap kali mereka berada di rumah, dia menjaga jarak, menolak untuk tidur sekamar dengan Eriska. Alasannya sederhana namun memilukan—ia takut akan kembali melukai wanita yang ia cintai. Trauma akan kejadian yang lalu masih begitu kuat, menghantuinya di setiap sudut hati.
Suatu malam, setelah selesai makan malam dalam suasana yang sunyi, Eriska memberanikan diri untuk berbicara. "Mas, sampai kapan kamu mau kayak gini?"
Suaranya lembut, namun penuh kepedihan. Dia duduk di seberang Rendra, menatapnya dengan tatapan penuh cinta yang tak pernah benar-benar hilang.
Rendra menghela napas berat. "Aku nggak bisa, Eris... Aku nggak mau ambil risiko menyakiti kamu lagi. Apa yang aku lakukan... Itu masih terus terbayang di kepala. Aku bahkan nggak bisa memaafkan diriku sendiri, jadi bagaimana kamu bisa?"
Eriska menggenggam tangannya erat. "Mas, aku nggak pernah menyerah. Aku mau Mas sembuh, aku mau kita bisa bersama lagi... Tapi kalau kamu terus menjauh seperti ini, kita nggak akan pernah sembuh dari semua ini. Aku di sini karena aku sayang sama Mas, dan aku percaya, Mas bisa berubah."
Rendra menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku... Aku takut, Eris. Takut kehilangan kendali, takut menghancurkan kamu lagi. Kamu nggak pantas mengalami itu. Aku bahkan nggak yakin aku pantas untuk dimaafkan."
Malam itu, suasana rumah terasa sunyi dan tenang, namun tidak bagi Rendra. Ia terbangun dengan keringat dingin membasahi pelipisnya, terengah-engah setelah mengalami mimpi buruk yang kembali menghantuinya. Dalam mimpinya, bayangan kelam dari masa lalu kembali muncul, mengingatkan akan kejadian tragis yang membuatnya menyakiti Eriska. Perasaan bersalah dan ketakutan menyelimutinya, membuatnya sulit bernapas.
Rendra mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri. Namun, mimpi buruk itu masih terbayang jelas di kepalanya. Dia duduk di tepi tempat tidur, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melawan ketakutannya. Namun, tidak peduli seberapa keras dia berusaha, rasa takut itu kembali muncul, memanggilnya untuk kembali ke kegelapan yang sudah begitu lama ingin ia tinggalkan.
Di kamar sebelah, Eriska terbangun saat mendengar suara Rendra. Merasa ada yang tidak beres, ia memutuskan untuk keluar dan memeriksa. Saat ia membuka pintu, ia menemukan Rendra yang terlihat gelisah.
"Mas, ada apa?" tanya Eriska dengan nada khawatir.
Rendra menoleh, matanya yang tampak kosong menunjukkan rasa ketakutan yang mendalam. "Aku... aku hanya bermimpi buruk," ujarnya pelan, suaranya sedikit bergetar.
Eriska merasa hatinya hancur melihat suaminya dalam keadaan seperti itu. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah lebih dekat dan menggenggam tangan Rendra.
"Mau aku temenin tidur?" katanya dengan lembut.
Rendra ragu sejenak. "Tapi... aku nggak mau kamu merasa tidak aman di dekatku. Bagaimana kalau aku masih bisa menyakiti kamu lagi?"
Eriska menatapnya penuh keyakinan. "Mas, kita sudah berusaha untuk memperbaiki semuanya. Aku percaya kamu bisa mengatasi ini. Aku tidak akan pergi."
Rendra merasakan ketulusan dalam suara Eriska. Perlahan, dia mengangguk. "Oke, kalau itu yang kamu mau..."
Eriska tersenyum lembut dan memimpin Rendra menuju tempat tidur di kamarnya. Mereka berdua berbaring berdampingan, dan Rendra bisa merasakan kehangatan tubuh Eriska di sampingnya. Rasa takut dan kesepian yang sempat menyelimuti jiwanya mulai pudar sedikit demi sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me
RomanceSetelah terbangun dari koma, Eriska belajar mengingat semua yang telah terjadi padanya. Termasuk cinta pertamanya