Semua orang terdiam sejenak, dan pandangan mereka langsung tertuju pada Eriska yang terkulai di lantai. Hanni yang ada di dekatnya segera mendekat dan mencoba membantu Eriska duduk. Tapi saat itu juga, Hanni terkejut melihat noda darah samar di celana Eriska.
"Darah! Dia berdarah!" Hanni berseru panik.
Kerumunan yang tadinya ramai langsung berubah menjadi hening. Beberapa mahasiswa mulai mundur dengan wajah tegang, sementara Dion dan Juna segera mendekat untuk membantu.
"Jangan panik, kita harus bawa dia ke rumah sakit sekarang!" Juna berkata dengan nada tegas, wajahnya tampak cemas.
"Juna, bantu gue angkat dia," tambah Dion sambil meletakkan tangan di punggung Eriska untuk menahannya.
Eriska terlihat pucat dan gemetar. "Gue... nggak apa-apa," bisiknya lemah, mencoba menenangkan teman-temannya meskipun tubuhnya jelas tidak dalam kondisi baik.
Namun, Hanni menggelengkan kepala. "Nggak, lo nggak baik-baik aja, Ris. Kita harus ke rumah sakit!"
Beberapa saat kemudian, teman-temannya segera membawa Eriska keluar dari kerumunan dan membawanya ke tempat yang lebih aman untuk mendapatkan pertolongan. Kerumunan mahasiswa hanya bisa melihat dalam diam, sebagian merasa bersalah atas kejadian itu, sementara yang lain hanya menunduk, tidak berani menatap langsung ke arah Eriska.
Bayu dengan tangan gemetar mengeluarkan ponselnya. Setelah sejenak ragu, ia menekan nomor Rendra yang tersimpan di kontaknya. Matanya melirik ke arah Eriska yang sedang duduk lemah di dalam mobil, ditemani oleh Hanni yang terus memegang tangannya untuk menenangkan.
Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya suara Rendra terdengar di ujung sana, tegas namun ramah seperti biasa.
"Bayu? Ada apa?" Rendra bertanya.
Bayu menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. "Mas Rendra... ini soal Eriska. Dia butuh dibawa ke rumah sakit sekarang. Dia... pingsan tadi di kampus, dan ada sedikit perdarahan."
Suara di ujung telepon langsung berubah serius. "Apa? Perdarahan? Di mana kalian sekarang?"
"Kami sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Mas Rendra bisa ke sana sekarang?"
"Aku langsung ke sana. Kamu jaga dia baik-baik sampai aku datang," kata Rendra cepat sebelum menutup telepon.
Bayu menatap layar ponselnya yang kembali gelap, perasaannya campur aduk. Ia tahu ini yang terbaik untuk Eriska, tapi tak bisa dipungkiri bahwa ada rasa sakit ketika ia harus menghubungi pria yang dulu pernah menyakiti gadis yang ia cintai. Dengan berat hati, ia menelan emosi itu, memfokuskan diri pada keadaan Eriska.
"Sabar ya, Ris. Mas Rendra sedang dalam perjalanan," katanya dengan suara pelan.
Eriska yang mendengar itu hanya mengangguk lemah, matanya terlihat basah karena campuran rasa takut dan cemas. Hanni di sebelahnya terus memeluk bahu Eriska, mencoba memberikan dukungan semampunya. "Semua akan baik-baik saja, Ris," bisiknya, meski dirinya sendiri juga khawatir.
Bayu menggenggam setir lebih erat, mempercepat laju mobil menuju rumah sakit, berharap Rendra segera tiba untuk berada di sisi Eriska.
Sesampainya di rumah sakit, Eriska segera dibawa ke ruang periksa oleh para perawat. Bayu dan Hanni menunggu cemas di luar, hingga akhirnya Rendra datang dengan wajah tegang, langsung menghampiri mereka.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Rendra, nadanya cepat dan penuh kekhawatiran.
Bayu berdiri, memberikan sedikit ruang. "Eriska masih diperiksa. Tapi dia sadar sepanjang perjalanan. Aku nggak tahu soal perdarahannya, tapi semoga nggak parah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me
RomansaSetelah terbangun dari koma, Eriska belajar mengingat semua yang telah terjadi padanya. Termasuk cinta pertamanya