Eriska terengah-engah, mengerahkan seluruh tenaga untuk menarik tubuh Rendra ke tepi pantai. Pasir dan air laut membasahi pakaiannya, sementara Rendra terkulai di pasir, wajahnya pucat dan tak sadarkan diri. Aroma alkohol yang tajam tercium dari mulutnya, membuat Eriska semakin cemas. Dalam hatinya, ada ketakutan luar biasa, tetapi ia tidak bisa membiarkan rasa panik menguasainya.
Dengan tangan gemetar, Eriska merogoh tasnya dan segera menelepon Kafka, kakaknya yang lain, yang selalu dapat diandalkan dalam situasi darurat. "Mas Kafka, aku butuh bantuan! Mas Rendra... dia di pantai, dia tidak sadarkan diri," suaranya terdengar putus asa.
Kafka, yang mendengar nada panik di suara adiknya, langsung menyadari situasi ini sangat serius. "Oke, tetap tenang, Eris. Aku akan segera ke sana. Sudah hubungi ambulans?"
Eriska mengangguk. Dengan cepat, dia menekan nomor darurat untuk memanggil ambulans. Dalam beberapa menit, mereka memastikan bantuan medis dalam perjalanan, namun menunggu dalam situasi seperti ini terasa begitu lama.
Eriska berjongkok di samping Rendra, matanya penuh air mata, mencoba membangunkan suaminya dengan mengguncang bahunya lembut.
"Mas, bangun... kumohon, jangan tinggalkan aku," bisiknya penuh harap.
Bayang-bayang masa-masa indah bersama Rendra memenuhi benaknya. Meski rasa sakit akibat luka yang ia alami masih melekat, namun cinta yang dalam membuatnya tak tega melihat Rendra dalam keadaan seperti ini. Di tengah rasa takutnya, ia hanya bisa menahan tangan Rendra erat-erat, berharap ia segera sadar.
Tak lama kemudian, suara sirene ambulans mulai terdengar di kejauhan, dan Kafka tiba beberapa menit setelahnya. Melihat kondisi Rendra, Kafka segera membantu paramedis mengevakuasi Rendra ke dalam ambulans, sementara Eriska tak bisa menahan air mata yang terus mengalir di pipinya.
Kafka menatap Eriska, lalu mengusap bahunya dengan lembut. "Eris, kita akan bawa Rendra ke rumah sakit. Dia butuh bantuan profesional," katanya, suaranya berusaha menenangkan.
Eriska mengangguk, meski hatinya tetap terasa hancur. Sambil memegangi tangan Rendra yang dingin, ia naik ke dalam ambulans bersama Kafka, berharap dan berdoa agar ini bukan akhir bagi mereka berdua.
***
Eriska duduk di ruang tunggu rumah sakit, menundukkan kepala sambil menggenggam erat tangannya yang gemetar. Kafka duduk di sebelahnya, mencoba menenangkannya meskipun ia sendiri diliputi kekhawatiran. Mereka berdua terdiam, larut dalam suasana tegang yang menyelimuti ruang tunggu.
Tak lama kemudian, Keenan datang dengan wajah cemas. Saat melihat adiknya, hatinya seolah teriris. Ia langsung mendekati Eriska, memeluknya erat tanpa berkata apa-apa. Hanya pelukan yang dalam, seolah ingin memberikan kekuatan pada adiknya yang sedang hancur.
Beberapa saat kemudian, orang tua Rendra tiba. Ibunya langsung menghampiri Eriska, duduk di sampingnya dan mengusap pundaknya dengan lembut.
"Nak Eris, tabahkan hati ya... Rendra pasti baik-baik saja," kata ibunya, mencoba menguatkan meski di wajahnya juga tampak kegelisahan yang mendalam.
Eriska hanya bisa mengangguk pelan, air matanya terus mengalir tanpa bisa ia hentikan. Ia masih sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi di pantai. Di dalam hatinya, ia bergulat dengan berbagai emosi—rasa cinta, kecewa, takut, dan kebingungan.
Setelah menunggu beberapa waktu yang terasa seperti berjam-jam, seorang dokter akhirnya keluar dari ruang perawatan. Semua mata langsung tertuju padanya, seakan menunggu kepastian yang sangat ditunggu-tunggu.
"Siapa keluarga dari Narendra Adhiguna?" dokter bertanya.
"Kami, Dok," Kafka dan ayah Rendra menjawab bersamaan, disusul oleh Eriska yang masih tampak pucat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me
RomanceSetelah terbangun dari koma, Eriska belajar mengingat semua yang telah terjadi padanya. Termasuk cinta pertamanya