Suara ramai menyelimuti ruang keluarga rumah Eriska. Selain Dion, Hanni, dan Juna, beberapa seniornya dari kampus juga datang—Devan, Wira, dan Febby. Mereka membawa hadiah dan makanan untuk merayakan kelahiran putra pertama Eriska sekaligus memberi dukungan kepadanya.
"Eris, nggak usah mikirin soal kuliah yang ketunda," ujar Devan sambil menyeruput teh hangat. "Lo prioritasin keluarga dulu. Nanti kalau waktunya pas, lo bisa lanjutin lagi."
"Iya," timpal Febby dengan lembut. "Kita tahu lo pasti bisa ngejar lagi. Dan, serius, kita semua bangga sama lo."
Wira yang biasanya pendiam ikut bicara, "Kadang hidup nggak berjalan sesuai rencana, tapi itu nggak berarti kamu gagal. Kamu cuma butuh waktu."
Eriska tersenyum mendengar dukungan dari teman-teman dan seniornya. Namun, di tengah kehangatan itu, ada perasaan yang tiba-tiba menghampiri. Pandangannya menyapu wajah-wajah yang hadir, tapi ada satu yang ia cari dan tidak ia temukan.
"Bayu nggak ikut, ya?" tanyanya dengan nada pelan.
Sejenak suasana jadi sedikit hening. Febby melirik Wira, dan Dion mencoba menjawab dengan nada ringan, "Kayaknya dia sibuk, Ris. Kerja sambilan kan jadwalnya ketat. Belum lagi mereka udah semester akhir."
"Oh, gitu..." Eriska mengangguk, mencoba menyembunyikan rasa ganjil di hatinya. Ia tahu ia tak seharusnya terlalu memikirkannya, tapi tetap saja, pertanyaan itu menggantung di benaknya.
Obrolan berlanjut, teman-temannya kembali mencairkan suasana dengan candaan dan cerita seru. Namun, di sudut hatinya, Eriska merasa ada sesuatu yang hilang. Kenapa Bayu tidak ada di sini? pikirnya dalam diam, sambil berusaha menikmati kehangatan dari mereka yang hadir.
Setelah teman-temannya pulang, Eriska duduk di ruang tamu sambil mengayun pelan tempat tidur bayinya. Wajahnya masih dihiasi senyum, meskipun pikirannya melayang ke arah Bayu. Ia menghela napas panjang, mencoba membuang jauh-jauh pikiran yang tak perlu.
"Bayu mungkin sibuk," gumamnya pelan, meyakinkan dirinya sendiri. "Senior-senior aja udah jarang di kampus karena skripsi. Mungkin Bayu juga lagi fokus sama skripsinya."
Eriska mencoba berpikir positif. Ia tahu tahap akhir kuliah adalah waktu yang melelahkan dan penuh tekanan. Waktu yang dimiliki Bayu mungkin benar-benar habis untuk menyelesaikan tugas akhir dan pekerjaan sambilannya.
Namun, di sudut hatinya, ia tak bisa menepis rasa rindu. Bayu adalah teman dekatnya sejak sekolah, yang selalu ada di saat ia membutuhkan. Ketidakhadiran Bayu di momen-momen penting belakangan ini membuatnya merasa ada jarak yang tak bisa ia jangkau.
Rendra masuk ke ruang tamu sambil membawa secangkir teh untuk Eriska. "Lagi mikirin apa?" tanyanya lembut.
Eriska tersentak kecil dan tersenyum tipis. "Nggak, cuma... mikir soal teman-teman di kampus aja. Mereka semua lagi sibuk skripsi, aku jadi kangen masa-masa itu."
Rendra duduk di sampingnya, memegang tangannya dengan lembut. "Kamu bakal balik lagi, kok. Nggak usah terburu-buru. Mereka pasti paham, dan mereka tahu kamu punya prioritas yang lebih besar sekarang."
Eriska mengangguk, mencoba menyerap kata-kata Rendra. Ia ingin percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa kehadiran Bayu—atau ketidakhadirannya—tidak perlu terlalu ia pikirkan. Tapi jauh di lubuk hatinya, Eriska tahu ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang sulit ia abaikan.
***
Dua tahun kemudian
Hari itu, aula kampus dipenuhi oleh senyum bahagia dan tawa keluarga para wisudawan. Setelah perjalanan panjang, akhirnya Eriska berdiri di antara teman-temannya mengenakan toga. Senyum lebar menghiasi wajahnya, meski hatinya sedikit haru mengingat semua rintangan yang telah ia lalui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me
RomanceSetelah terbangun dari koma, Eriska belajar mengingat semua yang telah terjadi padanya. Termasuk cinta pertamanya