Eriska dengan cemas menekan tangannya ke perutnya saat berjalan terburu-buru menuju kamar mandi. Keringat dingin mengalir di wajahnya, dan pikirannya berputar-putar.
"Aku harus melakukannya. Aku harus mengeluarkannya," bisiknya pada diri sendiri, hampir seperti mantra. Ketika akhirnya ia sampai di kamar mandi, ia segera mencoba untuk memuntahkan kertas post-it yang tertelan dengan cepat, berharap bisa mengeluarkannya dan menghindari masalah lebih lanjut.
Namun, usaha itu terasa sia-sia. Tak lama kemudian, Tessa muncul di ambang pintu kamar mandi, matanya basah dengan air mata. Ia melihat Eriska yang terlihat panik, dan tanpa berpikir panjang, Tessa berlari menghampirinya dan membantunya memuntahkan post-it itu.
Setelah selesai, Eriska menatap Tessa kebingungan. Bingung karena Tessa yang sebelumnya antipati dengannya kini membantunya disaat seperti ini.
"Eris...," suara Tessa bergetar, penuh penyesalan. Ia meraih lengan Eriska dengan lembut, berusaha menenangkannya. "Gue... mau minta maaf. Gue tahu gue salah. Semua ini terjadi karena gue biarin mereka melakukannya. Gue nggak seharusnya ikut-ikutan."
Eriska menatapnya, terkejut dengan pengakuan Tessa. Hatinya bergejolak antara kebingungan dan haru. Tessa, yang selama ini terlihat seperti musuh, kini berlutut di depannya dan menangis.
"Nggak ada perbuatan gue yang bisa dibenarkan, apapun alasannya," lanjut Tessa dengan suara yang hampir tak terdengar. "Gue terlalu terpengaruh dengan apa yang mereka katakan. Maafin gue, Eriska... gue benar-benar minta maaf."
Eriska menatap Tessa dalam diam, perasaan campur aduk menguasainya. Ada kelegaan, ada kebingungan, dan ada rasa marah yang perlahan memudar.
"Kenapa... lo minta maaf?" tanya Eriska pelan.
Tessa menundukkan kepala, meremas tangan Eriska dengan penuh penyesalan. "Gue tahu selama ini lo juga berjuang, dan nggak sepantasnya gue nge-judge lo hanya dari tampilan luar."
Eriska menghela napas panjang, merasa lelah dengan segala tekanan yang selama ini ia hadapi. Ia menatap Tessa sejenak, seakan mencari jawaban dalam tatapan mata temannya itu.
"Gue... nggak tahu kita bisa temenan lagi apa nggak," jawab Eriska akhirnya, suaranya lemah, tetapi tegas. "Tapi, gue udah maafin lo, Tess."
Tessa mengangguk pelan, air matanya masih membasahi pipinya, tetapi ada secercah harapan yang muncul di matanya. "Terima kasih, Eriska. Gue nggak berharap kita kayak dulu, tapi gue coba untuk perbaiki semuanya."
Keduanya diam sejenak, saling memahami tanpa kata-kata lebih lanjut. Hanya ada keheningan yang menenangkan di antara mereka, seiring dengan perasaan lega yang perlahan tumbuh dalam diri Eriska.
***
Ketika Rendra menerima panggilan dari Anton, ia sedang menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Panggilan itu mengalihkan fokusnya sejenak. Ia menjawab dengan nada tenang namun penuh rasa ingin tahu.
"Anton?" ujar Rendra. "Ada apa tiba-tiba menghubungi saya?"
Anton, dekan Fakultas Teknik sekaligus kenalannya, terdengar agak ragu di awal percakapan. "Rendra, maaf mengganggu waktumu. Saya hanya ingin memberitahu sesuatu yang mungkin kamu sudah dengar... atau mungkin belum."
Rendra mengerutkan kening, nadanya menjadi lebih serius. "Apa yang terjadi?"
Anton menghela napas. "Ini tentang Eriska. Ada insiden saat ujian tadi pagi. Dia dituduh menyontek oleh salah satu mahasiswi."
Rendra membeku mendengar itu, lalu menjawab tegas, "Tuduhan menyontek? Itu tidak mungkin. Eriska tidak seperti itu."
"Itu juga yang saya pikirkan," Anton menimpali cepat. "Saya sudah bicara dengan pengawas ujian. Tidak ada bukti kuat untuk tuduhan itu, tapi insiden ini sempat memicu keributan di kelas. Saya pikir kamu perlu tahu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me
RomanceSetelah terbangun dari koma, Eriska belajar mengingat semua yang telah terjadi padanya. Termasuk cinta pertamanya