Price of privilege

82 4 0
                                    

Di luar, hujan turun dengan deras, menciptakan ritme lembut yang terdengar melalui jendela kamar mereka. Eriska duduk di sofa dengan selimut yang disiapkan Rendra melilit di tubuhnya. Sementara itu, Rendra sibuk menyiapkan secangkir teh hangat untuknya di dapur, memastikan semuanya sempurna agar istrinya merasa nyaman.

Eriska duduk di sofa, memandangi hujan di luar jendela dengan senyum kecil. Keletihan setelah seharian di kampus tampak di wajahnya, tetapi ada sesuatu yang terasa damai saat berada di rumah bersama Rendra.

Rendra mendekat sambil membawa secangkir teh hangat dan menyerahkannya pada Eriska, lalu duduk di sampingnya, menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua. Ia memeluknya dengan lembut, memastikan istrinya merasa nyaman dan hangat dalam dekapan.

"Gimana tadi di kampus?" Rendra bertanya dengan suara lembut, menatap Eriska dengan penuh perhatian.

Eriska menghela napas panjang, mengingat kejadian-kejadian kecil yang membuatnya merasa lelah dan campur aduk.

"Hari ini... cukup melelahkan, sih," jawabnya sambil menyeruput teh hangat di tangannya. "Aku harus mengurus proyek acara kampus, dan juga ketemu beberapa teman. Oh iya..."

Ia terdiam sejenak, sedikit ragu untuk melanjutkan, namun tatapan penuh kasih Rendra membuatnya merasa nyaman untuk bercerita lebih lanjut.

"Aku juga ketemu sama Bayu tadi," lanjut Eriska dengan nada pelan, sambil mencoba menahan perasaannya yang sedikit berkecamuk. "Aku cerita soal kehamilan ini ke dia."

Rendra menatap Eriska, mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa menginterupsi. Tangannya mengelus lembut bahu Eriska, seolah memberikan ketenangan dalam setiap sentuhannya.

"Dan... gimana reaksi dia?" tanyanya lembut.

Eriska tersenyum tipis, meski ada sedikit rasa bersalah di wajahnya. "Dia kaget, dan mungkin sedikit kecewa. Tapi... dia memahami keputusan kita," katanya, mencoba menenangkan perasaannya sendiri.

Rendra mengangguk, lalu menarik Eriska lebih dekat lagi dalam pelukannya.

"Selama ada kamu di sampingku, aku yakin kita bisa lewatin semuanya, sayang," bisiknya lembut. "Kamu udah jadi istri yang kuat dan sabar... aku bangga banget sama kamu."

Eriska merasa hangat di dalam hatinya mendengar kata-kata Rendra. Hujan di luar semakin deras, namun di dalam rumah, kehangatan cinta dan kasih sayang mereka terasa begitu nyata. Mereka saling menatap dalam diam, menikmati momen penuh keintiman ini. Dalam pelukan Rendra, Eriska merasa aman, dan untuk sesaat, semua masalah di luar sana terasa jauh.

***

Di tengah hiruk-pikuk persiapan acara kampus yang akan digelar, Eriska sibuk mengatur dekorasi panggung dan memastikan segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Ia mengenakan kemeja longgar dengan celana panjang yang nyaman, berusaha bergerak lebih hati-hati dari biasanya. Meski begitu, perannya sebagai ketua panitia membuatnya tak bisa hanya duduk dan memerintah; ia ikut turun langsung mengarahkan orang-orang di sekitarnya.

Febby yang melihat betapa aktifnya Eriska, mendekatinya dengan wajah khawatir. "Ris, lo yakin mau tetap gerak-gerak segini banyak?" tanya Febby dengan nada lembut. "Ingat, lo sekarang lagi hamil... jangan terlalu memaksakan diri."

Eriska menatap Febby dan tersenyum tipis, walaupun matanya tampak lelah. "Gue nggak apa-apa, Kak Feb. Ini udah jadi tanggung jawab gue sebagai ketua panitia. Nggak enak kalau gue tiba-tiba lepas tangan."

Febby mendesah pelan, menahan diri untuk tidak terlalu menggurui. "Tapi lo kan bisa delegasikan tugasnya ke yang lain. Nggak usah semuanya lo yang urus. Kalau ada apa-apa sama lo dan... bayinya, gimana?"

Remember meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang