⚠️ Go Public

99 4 0
                                    

Eriska melangkah masuk ke kantin dengan hati berdebar. Suasana di dalam kantin yang biasanya ramai kini terasa berbeda; tatapan para mahasiswa tertuju padanya. Beberapa dari mereka membisikkan sesuatu, sementara yang lain terlihat sibuk mengeluarkan ponsel untuk merekam momen kehadirannya. Meskipun telah berusaha untuk tidak peduli, Eriska tidak bisa menghindari rasa canggung yang menyelimuti dirinya.

Dengan langkah cepat, ia mencari sosok teman-temannya di meja pojok. Di sana, Dion, Juna, Tessa, dan Hanni sedang bercengkerama, meski terlihat ada ketegangan di antara mereka. Eriska merasakan kehangatan saat melihat mereka, tetapi rasa malunya tetap menghantui.

"Eh, ada nyonya besar, nih!" seru Juna dengan nada menggodanya saat melihat Eriska mendekat.

"Cieee, Ibu Adhiguna, sekarang jadi seleb di kampus!" Dion menyusul dengan senyum lebar.

Eriska tertawa kaku, berusaha meredakan rasa malu yang menggelayuti dirinya. "Eh, jangan gitu, ya! Malu banget, tau!"

Tessa, yang duduk di sampingnya, hanya terdiam, menatap Eriska dengan ekspresi campuran antara kagum dan sedikit iri. Dalam hatinya, ia merasa tersisih. Meskipun Tessa sangat menyayangi Eriska, ada rasa yang sulit diungkapkan ketika melihat temannya menjadi sorotan. Hidup Eriska terlalu sempurna, dan hal itu membuat Tessa tidak nyaman.

"Eh, lo nggak lupa sama tugas gambar perspektif 2 titik hilang kan?" Tanya Hanni khawatir mengingat Eriska semalam sibuk dalam acara konferensi pers.

"Tenang aja, gue kerjain kok. Makanya gue agak ngantuk sekarang." Jawab Eriska, "Lumayan juga gue sampai begadang."

"Wah, wah." Celetuk Dion, "Berarti gue harus beli kopi nih buat ibu Adhiguna!"

Eriska tertawa, tapi Tessa tetap terdiam. Ia tahu, meskipun mereka bercanda, perasaan tidak nyaman itu tidak bisa sepenuhnya lenyap. Rasa iri dalam hati Tessa semakin mendalam, seakan mengingatkannya bahwa di balik tawa dan canda, ada juga realitas yang tidak selalu indah.

Suasana di kantin semakin riuh. Kerumunan mahasiswa yang penasaran mulai mengelilingi Eriska, mengarahkan kamera ponsel mereka untuk mengabadikan momen tersebut. Beberapa dari mereka bahkan berbicara keras, mengomentari penampilan Eriska dan status barunya sebagai istri Rendra. Rasa tidak nyaman semakin menggelayuti Eriska; dia merasa seperti hewan yang dipamerkan di kebun binatang.

"Woy, udahan ya foto-fotonya!" Dion tiba-tiba berdiri, suaranya meninggi untuk menegur kerumunan yang terus mengabaikan batas privasi. "Dia juga punya hak untuk merasa nyaman!"

Kerumunan itu sedikit mundur, tetapi tidak semua orang tampak peduli. Beberapa malah tertawa, sementara yang lain masih terus memotret tanpa merasa bersalah. Melihat ini, Eriska semakin merasa tertekan. Dalam sekejap, ia mengambil hoodie yang ada di tasnya dan menariknya ke atas kepala, menutupi wajahnya.

"Gue nggak mau dilihat," bisiknya pada Hanni yang duduk di sampingnya.

"Tenang, Ris. Kita ada di sini," Hanni berusaha menenangkan sambil melingkarkan tangannya di bahu Eriska. "Kita bisa pergi ke tempat lain kalau perlu."

Dion, yang masih berdiri dan menjaga jarak dari kerumunan, melirik ke arah Eriska yang tampak terkurung dalam cangkang hoodie-nya. "Ayo, kita ke luar. Ini udah keterlaluan!"

Eriska dan teman-temannya berusaha berjalan cepat menuju pintu keluar kantin, tetapi kerumunan itu masih mengelilingi mereka, mengajukan pertanyaan dan mencoba merekam setiap gerakan mereka. Tiba-tiba, suara keras terdengar dari arah belakang.

"Woy! Kalian semua! Berhenti! Beri mereka ruang!" Febby, bersama Bayu, Wira, dan Devan, menerobos masuk ke kerumunan dengan semangat melindungi Eriska. Mereka berdiri di depan teman-teman Eriska, membentuk dinding manusia yang tegas.

Remember meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang