Rendra duduk di ruang kerjanya dengan wajah serius, matanya terpaku pada layar laptopnya. Ia sudah meminta bantuan beberapa kolega yang memiliki koneksi di kampus Eriska untuk mencari tahu siapa saja yang terlibat dalam keributan yang nyaris membahayakan kondisi istrinya.
Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari salah satu bawahannya Anton yang bekerja di rektorat kampus. Pesan itu menyebutkan nama beberapa mahasiswa yang diduga memulai keributan, termasuk beberapa nama yang tidak asing—salah satunya Tessa.
Rendra mengerutkan keningnya. Ia ingat Tessa pernah dibawa Eriska ke kantornya untuk mengerjakan tugas kelompok. Dia adalah salah satu teman yang dulu cukup dekat dengan istrinya. Namun, kini Tessa tampak berada di sisi yang berlawanan.
"Ada apa?" suara lembut Eriska terdengar dari pintu. Rendra menoleh dan melihat istrinya berdiri di sana dengan pakaian santai, wajahnya masih tampak pucat.
Rendra segera bangkit dan menghampirinya. "Sayang, kamu harus istirahat. Aku yang akan mengurus semuanya."
Eriska tersenyum tipis. "Aku cuma mau tahu apa yang kamu kerjakan. Kamu kelihatan sangat serius."
Rendra memeluknya perlahan, mengusap punggungnya dengan lembut. "Aku sedang mencari tahu siapa yang mengganggu kamu. Aku nggak akan membiarkan orang-orang itu membuat kamu atau anak kita menderita."
Eriska terdiam sejenak di dalam pelukannya. "Mas... aku nggak mau kamu bertindak gegabah. Mungkin mereka cuma... nggak tahu batas saja. Aku nggak ingin masalah ini jadi lebih besar."
Rendra menatap wajah istrinya dengan penuh kasih, tetapi ada kilatan tekad di matanya. "Aku tahu kamu selalu berusaha melihat sisi baik dari orang lain. Tapi aku suamimu, tugas aku melindungi kamu. Kalau ada yang berani macam-macam lagi, mereka harus tahu siapa yang mereka hadapi."
Eriska mendesah pelan, tetapi ia tahu suaminya tidak akan mudah dihalangi. "Kalau kamu mau menyelidiki, aku nggak akan melarang. Tapi aku mohon, jangan sampai ini memperburuk keadaan di kampus. Aku nggak mau jadi pusat perhatian lagi."
Rendra mengangguk, mencium keningnya lembut. "Aku janji, aku akan menangani ini dengan tenang. Tapi aku harus memastikan mereka tidak berani menyentuh kamu lagi, apapun caranya."
Setelah membaringkan Eriska kembali ke tempat tidur untuk beristirahat, Rendra kembali ke ruang kerjanya. Ia menyalakan rokok elektronik, mencoba menenangkan pikirannya sambil menyusun rencana. Nama-nama yang ia dapatkan mulai membentuk gambaran yang jelas, dan ia tahu langkah selanjutnya: mendatangi pihak kampus secara langsung untuk menyelesaikan masalah ini.
***
Situasi di kampus semakin memanas. Teman-teman Eriska, termasuk Hanni, Dion, Juna, dan Febby, mulai merasakan dampaknya. Wartawan yang semula hanya mengejar Eriska kini juga mengganggu mereka, meminta komentar tentang kondisi Eriska dan spekulasi mengenai kehamilannya. Bahkan ada yang mencoba menyusup ke dalam kampus untuk mencari informasi.
Di sisi lain, suasana mahasiswa semakin riuh dengan gelombang protes yang terus menguat. Grup-grup diskusi di media sosial kampus penuh dengan perdebatan soal Eriska. Banyak yang mengkritik bahwa posisinya sebagai ketua panitia acara parade dan anggota dewan mahasiswa tidak lagi pantas mengingat kondisinya.
Di depan aula kampus, beberapa mahasiswa bahkan menggelar aksi kecil. Mereka membawa spanduk bertuliskan:
"Tidak Ada Tempat untuk Nepotisme di Kampus Ini"
"Dewan Mahasiswa hanya berpihak pada Nepo Baby"
"Transparansi dan Keadilan untuk Mahasiswa"Di tengah kekacauan ini, Hanni dan Dion berusaha membela Eriska. "Kalian semua nggak tahu apa yang dia lalui. Dia bekerja keras untuk sampai di posisi itu!" seru Dion dalam salah satu diskusi sengit di kantin kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me
RomanceSetelah terbangun dari koma, Eriska belajar mengingat semua yang telah terjadi padanya. Termasuk cinta pertamanya