03. Debaros

382 25 1
                                    

"Log in bang,"

"Gas."

Tak!

"Game mulu idup lo pada."

Cikal mengusap kepalanya yang baru saja mendapat sentilan keras dari Nathan. Tatapannya menajam, menatap si pelaku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Tampan. Pantas saja banyak perempuan yang menggandrungi laki-laki didepannya ini.

"Main sentil aja lo pentol ayam!" protes Cikal. Sementara Nathan menjulurkan lidah, meledek Cikal habis-habisan.

Ketujuh manusia gila itu sekarang sedang ada di bangunan kosong yang dipergunakan sebagai gudang di belakang sekolah. Tempat ini memang menjadi markas kedua mereka, selain garasi bekas pabrik yang dibangun oleh keluarga Rajendra.

Kegiatan mereka disini beragam. Ada yang bermain game seperti Cikal dan Dewa, ada yang sibuk makan seperti Juangga dan Nathan, ataupun merokok seperti Mark dan Nakula. Yang lebih gilanya lagi, ada yang sibuk berkutat dengan buku matematikanya sampai tidak sempat memperhatikan sekitar. Siapa lagi kalau bukan ketua mereka semua, Rajendra Sagara.

Cikal bahkan sudah tak tahu lagi harus berkata apa melihat ketuanya itu. Tidak dimana-mana, pasti akan selalu belajar. Cikal malah hampir tidak pernah melihat Rajendra melakukan hal lain selain berkutat dengan buku-buku tebal yang selalu laki-laki itu bawa kemanapun ia pergi.

"Jen," satu panggilan yang keluar dari mulut Cikal nampaknya tidak mampu membuat konsentrasi belajar Rajendra terganggu. Padahal, laki-laki itu duduk tepat disamping kanan Cikal.

"Rajen." masih tak ada sahutan sedikitpun. Cikal melirik, Rajendra ternyata masih fokus bercumbu dengan rumus-rumus yang bisa membuat mata Cikal seketika perih jika melihatnya.

"Rajendra -anjing! jaga disitu Dewa! bantuin gue bangsat!!!" Cikal misuh-misuh sendiri. Pandangannya masih tertuju pada game yang ada di layar ponselnya hingga tak sadar bahwa orang yang sedari tadi ia panggil telah menoleh dan memperhatikannya sekarang.

"Gila lo Wa, gue nyaris mati." ucap Cikal masih tak sadar. Sedetik kemudian ujung matanya menangkap raut wajah datar Rajendra yang tengah menatap dirinya dalam diam.

Cikal menoleh. Memasang wajah bodoh bercampur cengegesan yang tampak menyebalkan menurut Rajendra.

"Eh, Jen."

"Kenapa?"

"Hah?"

"Kenapa manggil gue?"

Cikal tertawa canggung. "Eng-enggak. Gue cuman mau ngobrol aja sama lo. Eh gak apa-apa, sambil lanjut aja belajarnya."

Rajendra mengangguk. Pandangan laki-laki itu kembali jatuh kedalam buku latihan diatas pahanya. Mulai mengerjakan lagi satu persatu soal matematika yang menurutnya perlu dilatih, persiapan untuk olimpiadenya bulan depan.

Cikal pun sama, pandangannya kembali fokus pada game yang masih berlanjut di ponselnya.

"Jen,"

"Hm."

"Lo belajar lama-lama gitu, ada manfaatnya gak sih?"

"Maksud?"

"Ya kan lo pinter nih, jenius malah, dan gue perhatiin lo tuh kalau belajar suka lama banget gitu. Emang ngaruh ya?"

"Ya, ngaruh."

"Ngaruhnya gimana? soalnya gue nih dirumah kan sama aja kayak lo, belajar non-stop. Sampai bimbel di banyak tempat malah, tapi ngga masuk sama sekali materinya. Gak kayak lo, gak bimbel tapi materinya lo kuasain semua."

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang