37. Hujan

123 9 0
                                    

"Udah siap?"

"Siap!"

"Oke cantik."

Setelah memastikan helm terpasang dengan aman di kepala Kay, Cikal melangkah ke motornya. Dengan gerakan yang sudah sangat familiar, ia naik ke atas motor dan menghidupkan mesin. Suara mesin yang berderum mengisi ramainya parkiran sore itu. Sementara Kay, dengan cekatan mengikuti di belakang, menggendong ranselnya dan bersiap untuk duduk di jok belakang.

Mereka baru saja menyelesaikan hari panjang di sekolah. Sore ini, mereka telah sepakat untuk menikmati hangatnya suasana Bandung sebentar sebelum Cikal kembali ke rumah sakit. Jalanan sore itu tak terlalu ramai, membiarkan mereka melaju dengan santai. Udara sejuk khas Bandung menyambut mereka, membawa aroma tanah basah yang menguar dari pepohonan di sepanjang jalan. Hujan baru saja reda, diganti oleh hangatnya senja yang mulai nampak terlukis di langit yang menaungi keduanya.

Matahari mulai meredup di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat oranye dan merah muda. Sementara motor melaju, Cikal dan Kay bisa merasakan angin sore yang lembut menerpa wajah mereka. Mereka tak butuh kata-kata, cukup menikmati kebersamaan dan keindahan sore itu. Setiap belokan, setiap jalanan yang mereka lalui, seolah menjadi bagian dari simfoni yang mengiringi perjalanan mereka.

Rasa lelah setelah seharian beraktivitas di sekolah perlahan menghilang, digantikan oleh perasaan damai dan kebebasan. Rasanya seperti temu rindu setelah sekian lama tidak naik motor berdua. Jalanan Bandung yang berliku dan naik-turun seperti mengajak mereka dalam petualangan kecil, yang diisi oleh tawa dan senyuman yang tersembunyi di balik helm.

Sore itu, Bandung menunjukkan pesonanya yang menenangkan. Bagi Cikal dan Kay, perjalanan pulang sekolah bukan sekadar rutinitas, tapi momen berharga untuk melepas penat dan menikmati keindahan yang ada di sekitar mereka. Mereka tahu, di tengah segala kesibukan dan tekanan yang mereka hadapi, selalu ada ruang untuk sejenak berhenti dan menikmati momen-momen sederhana seperti ini.

Langit senja Bandung menyambut Kay dan Cikal yang sedang berkendara santai di atas motor, menikmati sejuknya angin sore yang membawa aroma khas kota. Kay duduk di belakang, tangannya melingkar di pinggang Cikal, sesekali ia berseru antusias saat mereka melewati pemandangan atau toko-toko unik yang ada di sepanjang jalan. Cikal, dengan senyum tipis di wajahnya, mengendalikan motor dengan tenang, menikmati semangat Kay yang tampak begitu bahagia.

Saat melewati sebuah kios es krim, Kay menepuk bahu Cikal. "Kal, aku mau es krim!" pintanya dengan nada penuh antusias.

Cikal menggeleng lembut tanpa menoleh ke belakang. "Tadi siang kita udah makan es krim, Kay. Nanti kamu sakit kalau makan es terus."

Kay sedikit menunduk, bibirnya mengerucut tanda ia sedang merajuk. "Tapi kan sekarang beda, Kal. Es krimnya juga beda."

Melihat ekspresi kecewa di wajah Kay melalui kaca spion, Cikal tersenyum tipis. "Yang namanya es semuanya juga sama kali, tetep dingin. Jangan ya? nanti lagi. Sekarang lagi musim hujan, jangan sering-sering makan es." Cikal berpikir sebentar, tak lama mendapatkan ide untuk membayar keinginan gadisnya yang tidak terpenuhi. "Aku ajak kamu ke tempat favorit aku sama kakek dulu, gimana? kamu pasti suka."

Kay memutar bola matanya, lalu mengangguk pelan. "Oke deh, aku ngikut aja."

Cikal tertawa kecil dan menancap gas pada mesin motor lagi. "Yaudah jangan ngambek, bentar lagi sampe ini."

Mereka berdua melaju pelan, berbelok ke sebuah jalan kecil yang dipenuhi kafe-kafe berlampu temaram. Setelah memarkirkan motornya, Cikal melepas helm gadisnya dengan sangat hati-hati. Menggandeng tangan gadisnya untuk ikut masuk ke dalam kafe yang sudah beberapa tahun ini tidak ia singgahi. Suasananya masih sama, hangat dan nyaman. Membuat pikiran Cikal kembali pada masa dimana dulu kakeknya sering membawanya kesini untuk menikmati secangkir teh panas dan buku-buku cerita lama yang kertasnya sudah menguning.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang