42. Olimpiade

54 5 0
                                    

"Gue cabut,"

"Lo beneran nggak mau kasih tau Ayah sama Ibun dulu soal olimpiade lo?"

Cikal mengurungkan niatnya yang hendak memegang kenop pintu kamar rawat inap Shaluna. Laki-laki itu kembali berbalik, menatap adiknya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan wajah pucat pasi.

"Nggak perlu, nanti aja kalau mereka ada waktu." katanya, menolak apa yang Shaluna katakan tadi.

Shaluna berdecak, menatap kakaknya dengan tajam. "Lo nggak mau dapet dukungan dari Ayah sama Ibun? ini hari lo, Cikal. Ini hari dimana lo bakal berjuang buat dapetin validasi dari Ayah sama Ibun. Hari yang udah lo tunggu-tunggu selama ini."

"Gue takut kalah, Dek." Cikal menunduk, menatap sepasang sepatunya yang lusuh termakan waktu. "Gue mau berjuang dulu, kalau emang hasilnya nanti baik, baru gue kasih tau Ayah sama Ibun. Karena percuma, gue kasih tau tentang olimpiade ini ke mereka kalau pada akhirnya gue nggak menang. Gue cuma bakal dapet sakit."

"Tapi Kal, lo tetep berhak dapet dukungan dari Ayah sama Ibun. Lo anak mereka." Shaluna masih tidak mau kalah. Gadis itu bahkan beralih ke posisi duduk, membiarkan rasa sakitnya terasa dua kali lipat lebih menyesakkan dibanding saat ia berbaring sebelumnya.

"Anak Ayah sama Ibun itu cuma lo, Dek. Karena cuma lo yang dilahirkan atas kemauan mereka berdua. Bukan atas keterpaksaan atau karena kesalahan apapun yang udah mereka lakuin kayak gue."

Si Sulung berbalik, kini benar-benar membuka pintu dengan gerak yang gusar. Melangkah pergi, jauh meninggalkan Shaluna yang sama sekali tidak ia beri kesempatan untuk berbicara lebih panjang lagi. Waktunya semakin sedikit, Cikal bisa terlambat pergi ke tempat olimpiade kalau harus berlama-lama meladeni Shaluna yang sibuk mengoceh tentang dukungan dan orangtua se pagi ini.

Cikal menatap kosong ke arah depan. Kepada lantai-lantai rumah sakit yang di penuhi oleh banyak pasien dan orang-orang yang larut akan rasa duka. Sudah berminggu-minggu, ini menjadi pemandangan Cikal sehari-hari. Laki-laki itu bahkan sudah lupa bagaimana rasanya tidur diatas kasur kamarnya. Ia juga lupa bagaimana rasanya pulang ke rumah yang sepi karena orangtuanya sibuk bekerja.

Kesehariannya kini berpindah sebagai seorang kakak yang sibuk mengurusi adiknya yang sakit-sakitan. Bahkan, rasa bencinya akan tempat ini semakin menjadi-jadi. Terlebih dengan semua rasa sakit yang telah ia saksikan. Bagaimana orangtuanya begitu terlihat putus asa dengan keadaan, juga adiknya yang setiap hari harus membuka mata dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya yang lemah.

Dan kini, setelah satu minggu penuh Cikal berjuang untuk nilai semesternya, ia harus berjuang sekali lagi untuk olimpiadenya. Untuk sekolah dan teman-teman yang sudah mendukungnya untuk menjadi lebih baik.

Cikal memang tidak tahu nanti hasilnya akan seperti apa, yang jelas selama ia yakin dan Rei tetap di sisinya nanti, Cikal rasa ia bisa melewati olimpiade pertama dalam hidupnya ini dengan baik. Terlepas dari di dukung tidaknya ia oleh Ayah dan Ibun. Karena Cikal tahu, meski tidak dengan orangtuanya, Grivos dan Kanaya akan tetap mendukungnya.

Sesampainya di parkiran, Si Sulung termenung kaku di atas motor. Laki-laki itu menatap pantulan wajahnya pada kaca spion, kemudian menarik simpul senyum tipis pada kedua ujung bibirnya demi memberikan semangat pada dirinya sendiri untuk hari ini yang akan panjang.

"Semangat, buktiin bahwa lo juga bisa jadi anak yang ngebuat orangtua lo bangga sama lo."


.
.


Gedung Galaktika di pusat kota Bandung sekarang mungkin akan menjadi saksi bagaimana sulung akan bertaruh atas apa yang sudah ia pelajari mati-matian selama ini. Sebuah gedung serbaguna tempatnya olimpiade.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang