"Thanks ya." Rei mengukir senyum tipis, memberikan helm yang baru saja dilepasnya kepada Cikal. "Eh, ini kelupaan."
Cikal menerima helmnya, kemudian juga menerima tas belanja dari tangan Rei. Laki-laki itu tampak merogoh bolpoin juga buku diary bersampul merah muda yang ia beli untuk Shaluna. Kemudian menyodorkan kembali tas belanja itu kepada Rei. Membuat gadis itu memasang wajah bingung.
"Kok dikasih ke gue?"
"Buat adek lo." Cikal membuka resleting jaketnya, memasukan buku beserta bolpoin untuk Shaluna ke saku dalam. "Gue balik ya."
"Kok lo tiba-tiba kasih ini ke adek gue? nggak perlu Kal."
"Itu buat adek lo kok, bukan buat lo. Dan itu juga nggak gratis."
Rei buru-buru membuka ranselnya, mengeluarkan dompet seraya berdoa semoga saja uangnya cukup untuk membayar.
"Gue juga nggak bilang kalau gue mau dibayar pake duit." Cikal melirik Rei sekilas. Kemudian menyalakan mesin motornya untuk bersiap pergi. "Cukup bayar dengan cara lo cari mimpi lo lagi dan perjuangin itu. Selama mimpi lo belum terwujud, lo berhutang sama gue."
Setelah mengatakan itu Cikal menancap gas pada motornya. Pergi meninggalkan Rei yang bahkan tak diberi kesempatan lagi untuk menjawab perkataanya. Padahal, masih banyak yang gadis itu ingin katakan padanya.
Rei menghela napas, melirik sekilas tas belanja berisi cat air yang kelihatan mahal. Perlahan ia tarik simpul tipis pada bibirnya, kemudian melangkah masuk ke dalam.
Seperti biasa, suasana panti memang selalu sudah sepi setiap kali Rei pulang bekerja. Adik-adiknya, termasuk Aksel pasti sudah tidur karena hari pun sudah larut. Jam dinding menunjuk pukul setengah dua belas malam, membuat Rei berjalan mengendap-endap masuk ke kamarnya karena takut menciptakan kebisingan untuk adik-adiknya yang sedang tidur.
Kamar sempit yang ia tinggali selama ini berisi empat orang termasuk Rei. Tiga sisanya adalah adik-adiknya yang masih duduk dibangku sekolah dasar. Dari pencerahan lampu tidur yang temaram, Rei bisa melihat wajah adik-adiknya itu. Rei mengelus kepala mereka satu persatu, kemudian menciuminya seraya mengucap selamat tidur.
Setelah menaruh ransel dan jaketnya, Rei terduduk di kursi. Tas belanja berwarna putih itu ia letakan diatas meja belajar, dipandanginya secara terus menerus tanpa henti. Aksel pasti suka dengan cat air ya g dibelikan Cikal untuknya. Anak itu pasti bersemangat saat tahu kalau Rei benar-benar pulang dengan membawakannya cat air sesuai dengan janji, tidak seperti di hari-hari sebelumnya.
Jemari Rei bergerak naik, mengusap wajah sebelum akhirnya menghembuskan napas berat. Kini setiap kali ia mengingat wajah dan suara Cikal, degup jantungnya berubah tak beraturan. Lebih gelinya lagi, pipinya selalu terasa panas setiap ia mengingat bagaimana Cikal menggenggam tangannya tanpa sadar. Perasaan itu muncul secara tiba-tiba. Terasa mengejutkan, namun tak bisa Rei hindari lagi.
Perasaannya kepada Cikal datang secara tiba-tiba. Entah karena sikap hangat laki-laki itu, atau karena perkataannya yang kerap kali membuat Rei terpesona. Yang jelas, Rei sadar dirinya kini diambang asmara.
Rei jelas menolak mentah-mentah perasaan ini, karena ia tahu di akhirnya hanyalah sebuah patah hati. Cikal adalah laki-laki yang sudah dimiliki, jadi tidak mungkin Rei melanjutkan perasaannya meski dia begitu jatuh hati.
Tapi, apakah ia bisa menghilangkan perasaan ini? sedang setiap saat ia akan bertemu Cikal untuk hari-hari selanjutnya. Sosok itu, mungkin akan tetap bersemayam dipikirannya untuk waktu yang lama.
Rei menggeleng. Meraih bolpoin dan secarik kertas dari buku tulis diatas mejanya. Meluapkan perasaan tertahan yang perlahan menggerogoti setengah pikirannya. Gadis itu menulis beberapa kata, hanya untuk mengungkapkan bagaimana ia kini dilanda kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SULUNG
Teen Fiction"Hidup bukan cuma tentang adek lo. Hidup lo, ya lo sendiri pemeran utamanya Kal." "Nggak bisa. Kata Ayah sama Ibun gue harus selalu ngutamain adek gue kalau mau jadi kakak yang baik." "Kal, nyerah ya?" . . . ©® kfor54, ay. best rank : • 1 in #haecha...