28. Jauh Dalam Pelukan Waktu

129 13 4
                                    


"Gue minta maaf banget ya, Nat? sekalian gue nitip pesen ke Bu Anna sama Rei kalau hari ini gue nggak bisa masuk dulu karena gue gak bisa ninggalin adek gue yang lagi sakit."

"Lo tenang aja, Kal. Pasti gue sampein."

"Untuk surat, gue bakal kasih pas gue masuk sekolah sekalian."

"Iya, Kal. Lo disana baik-baik jagain Luna ya? kabarin kita kalau ada apa-apa."

Meski tak terlihat oleh yang diseberang sana, Cikal tetap mengangguk. "Gue... nitip Kay, ya? dia selalu dapet gangguan dari anak-anak lain gara-gara mereka tau Kay pacar gue. Jadi gue takut kalau selama gue gak ada, dia nggak ada yang jagain."

"Aman, Kal. Nanti anak-anak juga pasti bakal dampingin dia terus kok."

"Sekali lagi, gue minta maaf karena udah ngerepotin lo pada. Thanks ya?"

"Siap. Jaga diri, Kal."

Cikal menghela napas ketika sambungan teleponnya dengan Nathan sudah terputus. Laki-laki itu berbalik, menatap Shaluna yang masih menutup matanya dengan damai diatas brankar. Masih tampak betah berlama-lama dengan kabel-kabel yang menempel di tubuhnya.

Shaluna baru saja dipindahkan ke ruang rawat inap setelah berbagai persetujuan di tandatangani oleh ayah dan ibunya. Dokter bilang, kemungkinan untuk adiknya beraktivitas seperti sedia kala itu hanya nol koma satu persen. Itu dikarenakan jantung Shaluna yang sudah sangat lemah. Sampai saat ini mereka berusaha memperpanjang waktu Shaluna dengan terapi yang ada, sebelum akhirnya mengambil tindakan operasi.

Pernyataan itu jelas membuat jiwa Cikal terguncang. Melihat bagaimana tersiksanya Shaluna saat ini, mungkin dalam tidur pun adiknya itu masih merasa sangat sakit. Dan Cikal jelas benci ketika ia tidak bisa melakukan apapun untuk adiknya seperti sekarang.

Langkah lesunya membawa Cikal untuk duduk di sebuah kursi di sisi brankar. Jemarinya bergerak, mengusap lembut tangan pucat si adik kesayangan. Hatinya sakit, melihat bagaimana tangan gadis yang selalu ia genggam begitu lemah tanpa kehidupan. Begitu pucat, seperti sudah lama tak dialiri darah lagi.

"Sehat ya, dek? Gue tau lo bisa."

Bahkan dalam situasi ini, Cikal tidak bisa berharap apa-apa lagi selain untuk kepulihan Shaluna. Saat ini, Cikal rasa ia tidak butuh lagi validasi dari kedua orang tuanya. Cikal juga tidak butuh menjadi juara di olimpiade yang diikutinya. Cikal tidak butuh motor baru. Cikal juga sudah tidak butuh di panggil 'kakak' oleh Shaluna seperti apa yang diimpikannya selama ini. Cikal benar-benar tidak butuh apapun, selain melihat Shaluna beraktivitas lagi dengan senyum manisnya seperti di hari-hari sebelumnya.

Hanya ada hati yang getir, berkali-kali memohon kepada Tuhan. Dan tangan yang hangat, yang bersedia menggenggamnya dalam keadaan apapun.

Sebuah pintu jauh di sisi kanannya terdengar di geser. Dibuka menampilkan kedua orangtuanya yang baru saja mengurus hal-hal yang Shaluna butuhkan selama di rumah sakit. Bahkan menatap kondisi kedua orangtuanya pun, Cikal sudah tidak mampu.

Kenanga begitu hancur. Matanya sembab karena tangis yang enggan mereda, suaranya pun serak, menahan betapa sakit jiwa dan raganya yang terhantam kenyataan. Wisesa tak kalah hancur. Ia tahu bahwa dirinya belum menjadi ayah yang baik untuk Shaluna. Mengingat bagaimana tamparan dan pukulan seringkali melayang kepada tubuh lemah anak gadisnya setiap kali ia melakukan kesalahan. Wisesa tahu,ia belum punya cukup waktu untuk memberi kasih sayang kepada si anak kebanggaan.

Pandangannya beralih menatap Cikal. Si sulung yang juga sama kacaunya. Penampilannya berantakan, dengan wajah yang benar-benar muram menatap nanar.

"Kamu pulang saja dulu. Mandi, kemas barang-barang kamu dan Shaluna, baru kembali kesini." pinta Wisesa.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang