22. Siapa Debaros?

125 16 2
                                    

Sepanjang hidupnya Cikal nyaris tidak pernah benci ketika Shaluna mendapatkan kasih sayang lebih dari kedua orangtuanya dibanding dengan Cikal. Justru sebaliknya, Cikal bersyukur karena adiknya itu mendapat banyak kehangatan yang ia sendiri tidak pernah rasakan.

Menurutnya, Shaluna memang pantas untuk mendapatkan banyak cinta dan kasih. Diluar penyakit kronisnya, Shaluna adalah anak yang membanggakan. Tidak seperti Cikal, yang sampai saat ini pun belum pernah membuat kedua orangtuanya bangga.

Jauh di lorong kelas yang sudah sepi, Cikal terduduk sembari memandangi ponselnya. Ada kabar baru, bahwa adiknya akan mengikuti olimpiade satu bulan mendatang. Kemudian, pandangannya beralih kearah tumpukan buku di sisi kirinya. Buku-buku latihan yang Rajendra berikan untuknya. Tentu sudah Rajendra isi dengan cara-cara paling mudah untuk Cikal pelajari.

"Sabar. Lo cuma perlu berusaha, untuk buat Ibun sama Ayah bangga." Cikal menguatkan hatinya. Berusaha mencari ketenangan ditengah hujan yang mengguyur kota Bandung.

"Belom juga apa-apa, udah ujan aje." Nathan muncul dari balik pintu kelas, menenteng ranselnya dengan langkah gontai. Hujan sore ini membuatnya malas pulang ke rumah.

Dibelakangnya, ada Mark menyusul. "Indomi dulu lah, Nat."

"Ayo. Ikut gak lo?" Nathan memicingkan matanya kearah Cikal, dijawab gelengan oleh si sulung. "Yaudah, gue kantin dulu ya."

Setelah kepergian Nathan dan Mark, kini Juangga dan Rajendra berjalan beriringan. Si laki-laki berotot mendudukkan dirinya disamping kiri Cikal, sementara si laki-laki berkacamata duduk di sisi kanan.

"Ada apaan nih pada duduk di sebelah gue?" Cikal kebingungan. Tapi Juangga malah menyodorkan satu bungkus obat penurun demam kepada Cikal.

"Kita tau lo nggak bawa obat lo yang kemarin Rajen beliin. Jadi kita minta ini tadi siang ke UKS." kata Juangga.

Cikal tersenyum, mendadak suasana hatinya menghangat. Jauh berbanding terbalik dengan suasana hatinya beberapa menit yang lalu.

"So sweet banget sih lo pada," ujar Cikal, dengan nada yang di manja-manjakan.

Juangga membuang muka, membuat ekspresi seperti ingin muntah. "Jijik banget, huek!"

"Thanks ya." kini Cikal menyenggol pelan tubuh Rajendra.

Sementara si laki-laki berkacamata hanya mengangguk. Terlalu sibuk menatap langit yang diselimuti awan kelabu, juga hujan yang turun cukup deras membuat koridor terbuka ini terasa lebih dingin dan gelap.

"Lo udah ini mau balik?" tanya Juangga.

"Iya, anter Kay dulu abis itu balik, gue ada les."

"Soal masalah kita sama Debaros..." Rajendra menggantung kalimatnya sejenak. "Gue pikir, lo fokus aja sama belajar lo. Masalah kita sama Debaros, bisa gue atau Juangga yang pikirin."

Cikal kini menoleh, menatap Rajendra seraya menaruh botol minumnya. "Maksud lo, gue di kecualikan gitu?"

"Lo kan harus belajar, persiapan olimpiade."

"Kalau gitu gue gak ikut olimpiade."

"Gila ya lo?" mata Juangga membulat karena terkejut dengan keputusan Cikal yang mendadak. "Gue sama Rajendra justru ngeharapin lo buat bisa ikut olimpiade itu, Kal. Masa lo mau mentingin kita-kita yang mau nyerang Debaros?"

"Ya karena kalian temen-temen gue." Cikal mengusap wajah tampannya dengan kasar. "Kalian yang selalu ada buat gue di keadaan apapun. Masa gue nggak bisa ada juga, buat kalian?"

"Malem ini gue sama anak-anak mau ke markas Debaros. Anak-anak bakal alihin perhatian kacung-kacungnya Debaros, dan gue bakal langsung nemuin dia."

"Secepet itu? jam berapa?"

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang