25. Lelaki pencemburu

136 14 1
                                    

"Thanks ya kak, udah ngajarin aku hari ini. Diajarin kakak rasanya nyaman banget dibanding sama tutor-tutor aku yang lain, kayak diajarin sama temen sendiri." Shaluna memegang tangan Rei dengan lembut.

Sementara si rambut pendek mengulas senyum. Merasakan kehangatan yang disalurkan dari si adik kesayangan Cikal. "Kamu bisa hubungin aku kalau ada tugas atau soal yang kamu nggak ngerti ya, jangan sungkan karena pasti akan aku bales kok. Kakak kamu punya tuh, nomor aku."

Shaluna mengangguk, membentuk gestur hormat. "Siap, bu guru!" Tatapan tajam gadis SMP itu kini beralih kepada Cikal di sampingnya, jelas Cikal membalas tatapan tajam adiknya dengan tatapan tidak mengerti. "Anterin gak?!"

"Nggak." tolak Cikal. Bukan tidak ingin mengantar, masalahnya dia masih mengantuk dan masih ingin melanjutkan tidur. Toh dia juga belum mandi, nanti kalau Rei risih dengan bau tubuhnya bagaimana?

"Cikal..."

"Iya iya bentar ambil kunci dulu." pada akhirnya seorang kakak hanyalah bisa menurut kepada permintaan sang adik. Meskipun kantuk masih sangat menggerogoti jiwanya, Cikal tetap mengambil kunci motor untuk mengantarkan Rei.

"Ayo." ajak Cikal, laki-laki itu memberikan helm milik Shaluna kepada Rei. Tentunya diterima oleh gadis itu meskipun merasa tak enak.

Rei kembali menatap Shaluna, memasang ekspresi tak enak. "Padahal gak usah ngerepotin, kakak kamu kayaknya lagi capek loh Lun. Aku bisa kok pulang sendiri."

Shaluna menggeleng. "Cikal bukan orang yang acuh apalagi sama cewek kok. Aku yakin dia juga mau nganterin kakak, cuma dia lagi ngantuk aja. Jadi tadi ngelantur,"

"Re? jadi pulang nggak?"

Rei mengangguk, kemudian melempar senyum kepada Shaluna. "Kalau gitu aku duluan ya."

Dengan perasaan campur aduk, Rei naik ke atas motor. Ini adalah kali keduanya di bonceng oleh Cikal. Namun rasanya masih sangat canggung sebab sedari tadi Cikal dan Rei hanya terlarut dalam pikiran masing-masing. Tidak ada yang memulai percakapan, hingga Rei tersadar bahwa hari ini dia harus menggantikan shift teman kerjanya di resto.

"Anter gue ke tempat kerja gue aja, di resto deket panti."

"Oke."

Tak ada lagi percakapan, Rei memainkan ponselnya selama perjalanan. Tidak benar-benar larut sebab itu hanyalah pengalihan atas rasa canggung yang melandanya. Sedari tadi, Rei hanya sibuk menggeser beranda ponselnya tanpa berniat membuka aplikasi.

"Gue bau nggak?" tanya Cikal tiba-tiba. Laki-laki itu merasa khawatir kalau Rei tidak nyaman dengan penampilannya yang masih berantakan dan belum mandi. Tapi ternyata gadis dibelakangnya malah tertawa kecil.

"Kenapa lo nanya?" katanya, disela tawa.

"Ya gue takut lo risih aja, gue nganter lo setelan gembel gini."

"Lo tiap hari kayak gembel, jadi nggak usah takut gue risih." canda Rei. Tentu mengundang tawa juga bagi Cikal.

Cikal sebenarnya bingung harus bilang apa lagi untuk membuka percakapan. Bayang-bayang wajah Debaros yang ia lihat tadi malam benar-benar memenuhi kepalanya, apalagi saat ia melihat wajah Rei secara langsung hari ini. Cikal sadar bahwa mereka begitu identik.

"Re, lo punya kakak nggak?" tanya Cikal, memutuskan untuk sedikit menggali informasi lebih lanjut mengenai latar belakang Rei.

Di belakangnya Rei menggeleng. "Kalau kakak panti, dulu punya. Tapi dia di adopsi waktu gue masih SD."

"Kalau kakak kandung?"

"Nggak tau juga. Kayaknya nggak deh, Kal. Ngapain gue di buang ke panti, kalau ternyata gue punya kakak? harusnya kakak gue juga dibuang bareng gue dong?" cocoklogi Rei membuat Cikal mengangguk.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang