45. Titik Nol

174 14 1
                                    

Kacau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kacau. Apapun yang Cikal pikirkan rasanya hanya menjadi benang kusut yang menggerogoti otaknya. Semuanya terasa begitu rumit ketika kecewa datang setelah apa yang sudah ia perjuangkan mati-matian selama ini.

Cikal sudah cukup diam atas rasa sakit yang kerap kali diterimanya dari sang Ayah. Cikal juga sudah cukup pemaaf untuk ukuran seseorang yang suka menyayat. Tapi kenapa? Kenapa takdir belum juga puas mempermainkan hidupnya? Kenapa juga kata bahagia masih enggan bersinggah di hidupnya yang berantakan?

Dibalik helmnya, Cikal tertawa nanar. Menertawakan dirinya yang begitu menyedihkan bersimpuh dihadapan takdir dan keadaan. Laki-laki itu menangis dalam senyumnya, air matanya bahkan sudah mengering dan enggan untuk turun lagi. Menyisakan rasa-rasa sesak menyiksa pada tenggorokan dan dadanya.

Kecepatan laju kuda besi itu sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Mungkin, siapa saja yang melihat akan mengira bahwa seseorang yang menjadi pengendara ini adalah orang gila yang tanpa sadar menancap gas dengan sangat amat dalam. Sama sekali tidak memikirkan kendaraan-kendaraan lain yang ramai memenuhi jalanan Kota Bandung senin malam.

Cikal benar-benar kalang kabut. Napasnya begitu tak beraturan bahkan setelah motornya sampai di halaman markas Grivos yang sepi. Tentu saja sepi, semua anak-anak Grivos pasti berada di rumah mereka sekarang. Menikmati obrolan-obrolan kecil dengan keluarga, atau sekedar beristirahat karena hari yang panjang.

Memang hanya Cikal yang paling berantakan disini hidupnya. Tidak punya tempat pulang lagi selain bangunan kosong penuh sampah rokok ini.

Laki-laki itu masuk ke dalam, berjalan sempoyongan dengan raut wajah datar. Ia terduduk lesu diatas tumpukan kain bekas yang sengaja mereka jadikan sofa. Mengistirahatkan tubuhnya yang kaku dan dingin akibat berkendara di malam hari.

Ada untungnya bagi Cikal saat markas Grivos ini sepi. Dia jadi bisa termenung sendirian tanpa harus khawatir ada orang yang tahu akan keadaannya. Sebab, Cikal masih tidak mau kalau masalah hidupnya sampai membuat teman-temannya juga ikut kesusahan. Tidak mau.

"Kacau banget gue," Cikal menghembuskan napas kasar, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Frustasi. Ia benar-benar sudah muak dengan keadaan.

Laki-laki itu mengacak-acak rambutnya sendiri. Begitu penuh penekanan, seakan ini memang adalah batas dari rasa sabarnya selama ini.

"Anjing!" umpatnya. "Kenapa harus gue?! Dari sekian juta orang di dunia ini, kenapa harus gue yang ngalamin ini semua sendirian?? Kenapa Tuhan?" Napasnya memburu. Ia benar-benar putus asa sekarang.

Seperti ada benalu yang tumbuh di rongga dadanya. Begitu menyesakkan, sakitnya bahkan membuat Cikal mengerang padahal itu adalah luka tak berdarah. Batinnya sakit. Hatinya menjerit. Kesabaran Cikal benar-benar sudah sampai pada batasnya, Cikal sudah tidak mampu lagi menerima semua kenyataan pahit yang sudah takdir gariskan untuknya. Ia terlalu lemah, untuk menghadapi hal-hal menyedihkan ini lebih lama. Ia juga terlalu letih, untuk memasang badan didepan kedua orangtuanya lagi bahkan untuk saat-saat nanti. Ia... begitu hancur hingga ingin mati.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang