12. Olimpiade Kimia

96 11 0
                                    

Jauh dari keramaian, Rei memang lebih suka tempat yang sepi seperti taman di belakang gedung sekolahnya. Tempat yang tidak di jamah banyak orang, juga tidak ditempati manusia-manusia menyebalkan seperti Cikal dan teman-temannya.

Iya, Rei memang tahu soal Grivos Gang. Bahkan seluruh sekolah tahu siapa mereka, geng motor perusuh yang berisikan anak-anak konglomerat yang nakal dan tidak bertanggungjawab. Begitu kiranya Rei memandang Cikal dan teman-temannya yang lain.

Rei tidak seperti siswi kebanyakan yang menggemari mereka. Justru sebaliknya, Rei tidak suka. Kehadiran orang-orang itu hanya mengganggu ketenangan hidupnya. Mereka suka merusuh, mengganggu orang, merokok dimana saja, benar-benar bertingkah seakan mereka adalah penguasa di sekolah. Dan kalaupun hal itu memang benar, Rei tetap tidak peduli. Karena baginya Cikal dan teman-temannya tidak lebih dari sebatas anak nakal.

Rei memang sendiri. Selain teman-teman band nya yang ber notabene jurusan IPS, Rei tidak berbaur dengan siapapun lagi. Termasuk dengan orang-orang di kelasnya. Mereka menganggap Rei sebagai orang yang menakutkan untuk didekati. Hanya karena wajah dan tatapan Rei yang kerap tidak ramah.

Namun itu semua diluar kendalinya. Wajah dan matanya memang seperti itu, lantas Rei harus apa? dia juga tergolong manusia introvert karena tidak bisa memulai percakapan dengan baik.

Selama ini yang menjadi temannya disaat sendiri hanyalah buku yang kini ada di pangkuannya. Buku bersampul hitam yang ia dapat dari orangtuanya saat ia masih kecil.

Rei memang tidak menulis banyak hal dalam buku itu. Hanya beberapa rumus kesukaannya, dan identitas diri sebagai tanda pengenal. Namun yang Rei takutkan jika kehilangan buku ini, adalah sebuah foto yang tersalip di bagian belakang bukunya. Satu-satunya foto keluarga yang ia miliki. Satu-satunya kenangan yang orangtuanya berikan sebelum mereka meninggalkan Rei di panti asuhan. Foto Rei saat masih bayi, bersama dengan kedua orangtuanya.

Gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha meredakan emosi yang bercampur aduk.

"Tenang, Rei." ucapnya.

Rei mendongak, berusaha menahan air mata yang lagi-lagi ingin keluar dengan menatap birunya langit siang ini. Jadi anak yang ditinggalkan oleh orangtua memang sesakit ini ya? Rei bahkan tidak tahu harus mencari orangtuanya kemana lagi.

Orang kecil seperti Rei, yang sampai sekarang hidup di panti asuhan mungkin akan selamanya menjadi orang menyedihkan. Siapa yang mau mengangkat remaja berusia 16 tahun? tidak ada. Sampai dewasa pun Rei akan tetap hidup sendiri.

Hingga lamunannya hancur kala dering ponselnya terdengar. Rei merogoh saku, buru-buru mengangkat telepon yang masuk.

"H-halo..."

.
.

"Jadi aku tunggu di parkiran, nih?"

Pasangan baru itu menghentikan langkah mereka tepat di depan pintu ruang guru. Kay, yang di sinyalir sudah resmi menjadi pacar seorang Raden Cikal Mahawisesa itu mulai ngambek karena hari pertama mereka harus terganggu dengan kegiatan Cikal yang banyak dan serba dadakan.

"Iya. Aku mau ke ruang guru dulu sebentar, di panggil sama Bu Anna."

Kay membulatkan matanya kala mendengar kata-kata yang cukup tidak familiar keluar dari mulut Cikal.
"Aku?" tanya Kay memastikan.

"Hah?"

"Kamu tadi bilang 'aku'?" Kay jelas terkejut. Cikal yang selama ini memanggilnya dengan sebutan lo-gue mendadak bersikap manis seperti sekarang. Sungguh berbanding terbalik dengan penampilannya yang sebelas dua belas berantakannya dengan preman pasar.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang