07. Romansa Bandung Malam

195 15 1
                                    

"Pekerjaan Ibun itu banyak, Cikal." Kenanga menarik nafasnya dalam-dalam, tak lama melempar sebuah amplop tepat diatas meja belajar anak sulungnya. "Dan kamu masih sempat buat Ibun dipanggil ke sekolah cuma untuk dapat surat peringatan kayak gini? datang terlambat, menyusup ke sekolah, kabur saat jam pelajaran. Mau jadi apa kamu nanti?"

Cikal terdiam. Sama sekali tak berniat menjawab apapun yang dikatakan ibunya.

"Ibun nggak habis pikir." Kenanga mengusap wajahnya. "Bisa gak sih, kamu sekali aja nggak buat ibu sengsara?"

Sengsara. Hati Cikal mencelos saat kata-kata itu keluar dari mulut ibunya. Hatinya tak cukup siap untuk mendengar kata-kata menyakitkan seperti itu.

Cikal hanya anak laki-laki biasa. Yang kerap melakukan kesalahan dan kenakalan. Tapi bukankah itu wajar terjadi di anak remaja seusianya? lantas kenapa hidup Cikal selalu dituntut sempurna dan tidak melakukan kesalahan? kenapa Cikal tidak seperti anak-anak remaja lainnya yang diberi pengertian ketika melakukan kesalahan? kenapa Cikal malah mendapat omelan setiap kali Cikal melakukan sesuatu entah itu benar atau salah? kenapa...

"Malam ini nggak ada keluar rumah. Ibun dan Ayah kamu akan jagain Luna di rumah sakit. Kamu jangan berani-berani keluar dari rumah ini."

Sepeninggal Kenanga, kini tersisa Cikal yang mengusap wajahnya dengan kasar. Nafasnya tak beraturan. Ia mendadak panik karena emosi yang tertahan dalam jiwanya.

Dinding kamarnya mendadak dua kali lebih dingin. Cikal mengacak-acak rambutnya, frustasi dengan keadaan.

"Kesalahan kecil..." Cikal menggumam. "Gue cuma ngelakuin kesalahan kecil."

.
.

Pukul tujuh malam. Suasana rumah keluarga Wisesa sudah jelas sepi karena pemiliknya pergi ke rumah sakit. Menemani putri kesayangan mereka yang tengah sakit.

Hanya ada Si Sulung Wisesa yang kini tengah bersiap di kamarnya, hendak pergi ke rumah Nathan untuk sekedar menenangkan pikiran.

Ancaman dari ibunya tak berlaku untuk Cikal. Dia juga manusia yang butuh orang lain untuk mendapat ketenangan. Dan dia tidak bisa mendapat ketenangan itu jika terus berada di rumah ini. Rumah yang Cikal rasa bukan tempat pulang yang tepat untuknya ketika lelah.

Anak laki-laki itu kini bersiap turun. Menyempatkan diri membawa sepotong roti dari meja makan sebab ia belum makan apapun sejak siang tadi. Dimarahi ibunya terlalu membuat Cikal tertekan hingga lupa bahwa tubuhnya juga butuh energi.

Setelah mengunci rumah, Cikal memakai helmnya. Dengan cepat menaiki motor dan menyalakan motornya. Namun saat hendak menancap gas, ponselnya bergetar. Cikal merogoh saku jaketnya untuk melihat siapa yang baru saja mengiriminya pesan.

Kay
Malam Cikal. Sorry ganggu,
kamu tau tempat yang jual alat
tulis gitu nggak? gue butuh
tapi gue nggak tau tempatnya.

Cikal
Ada. Gue tau tempat yang jual
alat tulis, bagus-bagus barangnya.

Kay
Dimana? eh kalau malem masih
buka nggak ya? mendadak banget
butuh untuk sekolah besok, hehehe.

Cikal
Masih buka. Sampai jam 9, kalau
mau gue anter sekarang.

Kay
Enggak ah, ngerepotin banget
rasanya. Aku mau pergi sendiri
aja. Btw, dimana tempatnya?

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang