10. Prioritas

189 17 1
                                    

"Jadi apa yang lo lakuin selama gue gak ada di rumah?" pertanyaan Shaluna membuat Cikal berhenti dari kegiatannya yang hendak memberi kompres kepada Shaluna. Laki-laki itu menatap adiknya.

"Kepo lo."

Shaluna mendengus. Sepulang dari rumah sakit tadi Shaluna memang baik-baik saja, namun, setelah waktu menunjuk pukul tujuh malam gadis itu merasakan suhu tubuhnya meningkat. Alhasil dia memanggil Cikal untuk mengurusnya karena Ayah dan Ibunya belum pulang bekerja.

"Gue penasaran aja, ada perang apaan lo sama bokap sampe beliau jadi jarang pulang?"

"Gue gak perang. Cuma adu argumen." Cikal tak terlalu menghiraukan pertanyaan Shaluna. Gadis itu memang punya rasa ingin tahu yang tinggi, jadi Cikal tidak aneh jika Shaluna mulai bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. "Udah mending lo fokus sama kesehatan lo, dek. Gak usah ngurus gue."

"Dih? siapa juga yang ngurusin lo. Gue cuma penasaran karena suasana rumah sekarang dingin banget. Kan biasanya panas banget tuh, udah kayak simulasi neraka."

Mendengar dialog sang adik, Cikal hanya bisa mengangguk setuju. Biasanya memang suasana rumah selalu panas, pertengkaran dimana-mana sampai rasanya mereka muak sekedar tinggal di rumah. Tapi sekarang berbanding terbalik. Rumah keluarga Wisesa sepi, kosong melompong. Tampaknya pertengkaran Cikal dengan sang Ayah membuat keluarga kecil mereka mengalami perang dingin.

Selesai dengan urusan kompres mengompres, Cikal memutuskan untuk keluar dari kamar Shaluna, niatnya mau memberikan gadis itu waktu untuk istirahat. Namun gadis SMP itu malah menahan tangannya.

"Kata Nathan, lo lagi suka sama orang ya?" Dan entah kenapa, rasa ingin tahu Shaluna sekarang semakin menjadi-jadi. Cikal bahkan tidak tahu bahwa adiknya itu berhubungan dengan Nathan dibelakangnya.

Cikal berbalik. "Ngomong apa aja si Nathan sama lo, dek?"

"Ya gak banyak sih. Lagian dia chat gue kadang-kadang, buat nyeritain lo doang." Shaluna melipat tangannya didepan dada. "Cantik gak ceweknya?"

"Lo tau Kanaya?"

"Yang temen lo di Singapore itu?" Cikal mengangguk. Cowok itu akhirnya memutuskan untuk duduk di sisi ranjang Shaluna. "Tau gue, se follow-an juga di insta."

"Ya, itu."

"Itu apaan?" Shaluna berpikir sebentar. Matanya membulat saat menyadari apa yang dimaksud oleh Cikal. "Serius aja lo Kal! anjir, nyari mati?"

"Kenapa emangnya?"

"Y-ya gak apa-apa, cuma kan lo..." Shaluna memasang wajah tidak yakin. Tangan dan matanya bergerak mengomentari Cikal dari ujung kepala hingga ujung kaki. Membuat cowok itu geram karena tingkah adiknya.

"Udah deh nggak usah banyak komen. Urus aja hidup lo." Cikal mengacak-acak surai legam milik Shaluna, cowok itu kembali beranjak menuju pintu kamar Shaluna.

"Lo nya aja suka ikut campur urusan gue, kenapa gue gak boleh ikut campur urusan lo?"

Cikal menurunkan lagi tangannya yang sudah mencapai gagang pintu. Cowok itu berbalik. "Karena lo adek gue, apapun yang lo lakuin itu tanggungjawab gue. Kalau soal apa ya gue lakuin, itu gue bisa urus sendiri." Setelah mengatakan kalimatnya, Cikal benar-benar keluar dari kamar Shaluna.

Meninggalkan adiknya yang masih menatap pintu berwarna putih itu dengan perasaan yang tiba-tiba campur aduk, bahkan banyak pertanyaan yang mendadak timbul di kepala Shaluna. Seberapa berat beban yang ditanggung laki-laki itu? sampai-sampai dia hanya bisa memedulikan orang lain ketimbang memikirkan dirinya sendiri.

Shaluna menoleh ke sisi kanan ranjangnya, meraih bingkai foto yang sengaja ia letakan dalam posisi terbalik kebawah. Sudah lama ia tak melihat foto itu, foto yang sengaja ia tutup karena terlalu malu menunjukkan kasih sayangnya kepada Cikal.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang