"Minta maaf gak lo? Ye, bangsat." Sadewa memukul pelan kepala adiknya dengan gerak yang gemas. Setelah menikmati satu mangkuk sup buatan bunda mereka, akhirnya sepasang kakak beradik itu memutuskan untuk menyambangi markas Grivos yang mereka yakini sepi. Alasannya simpel. Sadewa ingin main game sepuasnya tanpa mendengar protes dari sang bunda, sementara Nakula jelas ingin menikmati batangan rokok yang ia sembunyikan mati-matian dari hadapan kedua orangtuanya.
Seperti dugaan, ketika sampai di markas, suasana bangunan bekas pabrik itu benar-benar sepi. Bahkan para anggota yang biasanya bongkar pasang motor atau sekedar bersantai-santai disini sama sekali tidak terlihat batang hidungnya. Maklum, sudah memasuki masa-masa libur. Jadi mereka yang notabenenya memang masih anak sekolah mungkin menikmati waktu bersama keluarga di rumah.
Namun ada yang aneh ketika Nakula baru saja duduk di sofa. Pandangannya fokus pada kepulan asap dibalik tumpukan tong besi di sudut ruangan. Bau rokok jelas masuk ke rongga hidungnya tanpa permisi. Nakula sadar, bahwa ditempat ini ada orang lain selain ia dan kakaknya.
Laki-laki jangkung itu menoleh kearah kiri, menyadari sebuah motor terparkir di dalam dengan sembarang. Motor yang jelas Nakula hafal betul siapa pemiliknya. Diliriknya sang kakak yang sudah larut dalam game di ponselnya, "Dewa. Ada bang Cikal disini."
"Dimana? gak usah ngaco lo. Jelas-jelas ini markas sepi juga."
Nakula mendengus. Remaja lima belas tahun itu bangkit dari duduknya dan mengurungkan niatnya untuk merokok. Berjalan pelan kearah kepulan asap yang masih dengan jelas terlihat semakin bertambah detik demi detik.
"Bang," panggil Nakula.
Cikal menoleh, dengan wajah yang benar-benar sudah hancur ditelan rasa kecewa. Laki-laki periang itu berantakan. Sungguh kacau dengan sebatang rokok yang terselip diantara jemarinya.
"Bang? lo apa-apaan?!" Nakula yang kala itu terkejut melihat keadaan Cikal yang jauh dari kata baik-baik saja langsung merebut paksa rokok yang ada ditangan Cikal. Menggenggam sisa rokok itu kuat-kuat sampai tangannya terbakar. Nakula melirik, melihat kondisi disekitar Cikal yang begitu berantakan.
Banyak puntung rokok dimana-mana, bercampur dengan debu dingin dari lantai markas. Sudah berapa lama laki-laki didepannya ini menghabiskan waktu untuk merokok? jika dilihat dari puntung-puntung yang ada, mungkin sudah lebih dari tiga jam Cikal berada disini.
"Lo minum?" Nakula jelas tidak bodoh. Matanya menangkap beberapa botol vodka yang tak asing berada di sisi kiri Cikal dengan keadaan terbuka dan habis. Menandakan bahwa laki-laki itu memang sudah menenggak semua isinya hingga tandas. "Lo kenapa bang?!"
Nakula memang orang yang jauh dari kata baik. Merokok dan minum-minum adalah pekerjaannya padahal ia masih jauh dari usia legal. Tapi melihat Cikal melakukan apa yang dirinya kerap lakukan, membuat hati Nakula juga ikut hancur. Cikal yang periang, tidak pernah Nakula sangka akan sehancur dan se putus asa ini.
"Sadewa! bantuin gue!" teriaknya, membuat Sadewa mau tak mau menoleh. Laki-laki berkulit putih itu juga sama kagetnya ketika mendapati Cikal dalam keadaan yang menyedihkan. Si kakak langsung melempar ponselnya dan menghampiri si adik. Membantunya untuk memapah Cikal yang mulai bicara melantur.
"Lo kok bisa kayak gini, Bang? Ada apa?" Sadewa cemas. Ia terlalu mudah panik, tidak seperti Nakula yang tetap tenang meski sama khawatir dengannya.
"Kita harus telepon bang Rajen sama yang lain. Kondisi bang Cikal nggak memungkinkan buat kita atasin berdua."
"Berapa botol?"
Suara lain yang tak asing tiba-tiba masuk ke tengah percakapan mereka. Nakula dan Sadewa sontak menoleh, memberikan tatapan kaget sebab orang yang baru saja mereka sebutkan langsung muncul dari balik pintu markas yang berkarat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SULUNG
Teen Fiction"Hidup bukan cuma tentang adek lo. Hidup lo, ya lo sendiri pemeran utamanya Kal." "Nggak bisa. Kata Ayah sama Ibun gue harus selalu ngutamain adek gue kalau mau jadi kakak yang baik." "Kal, nyerah ya?" . . . ©® kfor54, ay. best rank : • 1 in #haecha...