20. Mencintaimu

143 12 0
                                    

"Ibun, kan udah adek bilang masaknya sama adek aja." Shaluna memeluk Kenanga dari belakang dengan lembut. Membuat ibu dua anak itu mengulas senyum tipis ditengah kegiatan memasaknya.

Jarang sekali Kenanga memasak sarapan, apalagi untuk kedua anaknya. Kenanga sadar, bahwa ia terlalu sibuk bekerja sampai lupa kalau dia juga seorang ibu yang harus mengurus anak-anaknya.

"Kamu duduk aja, ini sebentar lagi selesai." ucap Kenanga, menuntun anak gadisnya untuk duduk.

Shaluna menatap lama kearah meja makan. Beberapa lauk pauk sudah siap tersaji diatas sana, juga empat buah piring bersih yang tertata rapi membuat Shaluna menarik napasnya dalam-dalam. Lama sekali sejak terakhir kali Shaluna melihat pemandangan hangat ini. Setelah sekian lama, akhirnya meja yang biasanya hanya tersaji beberapa lembar roti dan selai itu terisi kembali oleh hidangan-hidangan lezat buatan ibunya.

Shaluna menarik simpul cantik di kedua ujung bibirnya seraya menarik kursi dan duduk dengan perasaan senang. Pandangannya kini tertuju keatas, menebak-nebak kapan Cikal akan turun dan bergabung di meja makan. Namun nihil, laki-laki itu tak kunjung turun juga.

"Ini, awas panas ya." Kenanga menaruh semangkuk besar nasi goreng yang baru saja matang tepat di tengah-tengah meja. Menu hari ini memang tidak banyak dan sederhana, namun setidaknya Kenanga sudah berusaha menebus kesalahannya sebagai ibu yang telah mengabaikan kewajiban.

Kenanga mengedarkan pandangan, menyadari bahwa dua laki-laki di keluarganya sama sekali belum ada yang terlihat batang hidungnya. Usai membuka celemek, Kenanga berjalan menuju kamarnya.

"Mas, sarapan." kata Kenanga singkat. Suasana dingin memang masih menyelimuti keduanya, namun Kenanga harus tetap berada padam posisinya sebagai seorang istri.

Melangkahnya ia mendekat kearah Bagja dengan raut datar. Membantu suaminya itu untuk memasangkan dasi.

"Hari ini saya masak. Saya harap kamu bisa makan dengan anak-anak."

"Saya sarapan diluar."

"Setidaknya tunjukkan ke mereka bahwa kamu masih layak dipanggil ayah."

Selesai dengan perkataannya, Kenanga kembali keluar. Menutup pintu dan meninggalkan Bagja yang mematung di tempatnya. Pikirannya penuh oleh pertanyaan tentang Kenanga yang tiba-tiba berubah tiga ratus enam puluh derajat.

Di ruang makan, Kenanga mengusap surai legam nan panjang milik Shaluna dengan sangat lembut. Sebelum kemudian berjalan menaiki tangga untuk menyusul anak sulungnya yang ternyata belum juga turun. Meski jantungnya berdegup dua kali lebih kencang, Kenanga tetap memaksa dirinya untuk naik keatas. Berdiri didepan pintu kamar Cikal dan memegang kenop pintu dengan lidah yang kelu.

Butuh keberanian lebih bagi Kenanga untuk menghadapi wajah anak sulungnya. Karena setiap menatap wajah si sulung, perasaan bersalah selalu saja menghantui Kenanga. Setiap kali ia mendengar suara Cikal, ia ingat akan Bagja Wisesa ketika masih muda. Semuanya begitu sama hingga membuat Kenanga sesak dan muak.

Cklek.

Kedua pasang obsidian kecokelatan itu akhirnya bertemu. Sama-sama terkejut karena kejadian yang sangat cepat dan mendadak. Membuat Kenanga buru-buru memutuskan pandangannya sebelum rasa bersalah kembali menggerogoti pikirannya.

"Sarapan, ibun sudah buatkan nasi goreng sama ayam di bawah."

Cikal menautkan alis, ini dia tidak salah dengar kan? Ibunya? Memasak untuknya sarapan pagi ini?

"Kenapa liatin ibun? cepat turun ke bawah. Adik dan ayahmu pasti nunggu." Kenanga bertahan dengan wajah datarnya sampai akhir. Perempuan paruh baya itu pun langsung berbalik dan pergi meninggalkan Cikal.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang