Para ayam piyik itu sudah pulang. Susah payah Cikal mengusirnya karena hari sudah larut, dia khawatir kalau ayahnya nanti pulang malah menimbulkan masalah bagi teman-temannya. Kini tersisa Cikal yang duduk di balkon kamarnya. Menatap langit malam yang gelap tanpa hiasan bintang. Sepanjang hari ini memang mendung, awan hujan pasti menutup indahnya gemerlap bintang kota.
Susah payah Cikal tidak bisa tidur. Semenjak percakapannya mengenai Kay dengan teman-temannya tadi, Cikal mengurungkan niatnya untuk menghubungi Kay. Pikirannya kalut, tidak tahu harus berbuat apa. Dia ragu saat mau menelepon Kay. Namun disisi lain, perasaannya juga tetap ingin mempercayai Kay. Tidak mungkin, kan, Kay se tega itu padanya?
"Arrrghh!" Cikal mengacak-acak rambutnya. Menggila di setiap helaan nafas.
Ia melirik ponsel yang sedari tadi ada di genggamannya. Layar benda pipih itu menyala, menampilkan chat terakhir yang Kay kirimkan padanya tadi sore. Saat gadis itu mencari Cikal yang tiba-tiba hilang tanpa kabar. Setelahnya, Kay tidak mengirim pesan apapun lagi. Cikal memejamkan mata, menarik napas sedalam mungkin untuk mencari titik tenang. Mungkin saja, Kay marah karena Cikal tiba-tiba menghilang seperti ini. Tidak seharusnya Cikal ragu menghubungi Kay, karena memang sudah sepatutnya ia memberi kabar pada gadis itu sekarang.
Tangannya dengan cepat menekan ikon telepon. Menunggu dering demi dering sampai akhirnya suara operator memutus sambungan tersebut. Cikal menghela napas berat, sepertinya Kay memang marah.
Akhirnya Cikal memutuskan untuk tidak berhenti. Ia menelepon Kay lagi dengan gerak yang khawatir, jelas karena Cikal sangat mencintai Kay. Dia takut gadisnya itu marah.
"Kay? Kay ini aku, Cikal."
"Tau." jawab gadisnya singkat.
Dari nada bicaranya saja, Cikal sudah tahu kalau Kay sedang marah kepadanya. Kay memang termasuk orang yang sensitif di dalam hubungan mereka, kerap sekali marah apalagi ketika Cikal sibuk berkumpul dengan teman-temannya. Kay tidak suka.
"Kay aku minta maaf,"
"Kamu tuh gimana sih, Kal? oke, aku paham aku cuma orang baru di hidup kamu, aku juga paham kalau aku nggak bisa ngubah sifat nakal kamu itu, tapi bisa nggak sih sekali aja kamu jangan gini? kamu kira enak nungguin orang tanpa kabar kayak tadi sore?"
"Iya, Kay, aku minta maaf. Tadi adik aku sakit, jadi aku harus jemput dia dulu."
"Kalau adik kamu sakit, kenapa kamu nggak bilang ke aku dulu kalau kamu mau pergi? biar aku nggak usah repot-repot nungguin kamu, nyusulin kamu ke temen-temen berandalmu itu."
Cikal memejamkan mata, berusaha untuk tetap tenang.
"Mereka bukan berandal, Kay. Mereka temen aku." Cikal mengusap wajah tampannya berkali-kali. "Aku tau aku salah karena menghilang gitu aja, bahkan aku baru ngehubungin kamu malam-malam gini. Tapi aku mohon kamu ngerti, ada banyak masalah yang nggak bisa aku ceritain ke kamu sekarang. Aku lagi kalut."
"Gunanya aku sebagai pacar itu apa sih? kenapa banyak yang aku nggak tau soal kamu?" nada bicara Kay melemah, gadis itu mulai menangis. Membuat Cikal merutuki diri karena tidak sengaja membuat gadisnya menangis malam ini.
"Maafin aku, aku bukan nggak—"
"Kamu nggak mau Cikal. Kamu emang nggak mau cerita apapun sama aku, kamu lebih milih cerita sama temen-temen kamu."
Salah besar. Cikal bahkan tidak bisa bercerita ke siapapun tentang masalah hidupnya yang kian hari kian bertambah. Hanya Rei, yang tahu sedikit tentang hidupnya. Dan itupun sudah cukup Cikal sesali.
"Aku cuma nggak mau kamu terbebani," kata Cikal, nada bicaranya bergetar. Mulutnya terbuka, menetralkan degup jantung yang terasa lebih cepat. "Terus kamu sama Roneo itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SULUNG
Teen Fiction"Hidup bukan cuma tentang adek lo. Hidup lo, ya lo sendiri pemeran utamanya Kal." "Nggak bisa. Kata Ayah sama Ibun gue harus selalu ngutamain adek gue kalau mau jadi kakak yang baik." "Kal, nyerah ya?" . . . ©® kfor54, ay. best rank : • 1 in #haecha...