30. Si Penikmat Gemerlap Kota

115 8 0
                                    

"Iya, nanti kakak belikan cat airnya sepulang kerja ya? Aksel tunggu kakak pulang, kakak janji akan bawakan Aksel cat air yang Aksel mau."

Setelah mendengar celotehan dari seorang anak kecil di seberang sana, Rei menutup teleponnya dengan perlahan. Di dalam ruangan yang sunyi ini, gadis itu tertegun memandangi pantulan dirinya pada cermin ruang ganti yang terasa amat redup. Perasaan bersalah muncul, mengingat keinginan sederhana adiknya itu kini terasa berat karena ketidakmampuannya.

"Rei? masih lama ganti bajunya? ini banyak pelanggan loh." Suara Mbak Sri menyadarkan Rei. Membuat gadis itu dengan cepat mengikat rambutnya sebelum keluar dari ruang ganti.

Hari ini, seperti biasa Rei bekerja shift malam di restoran Jepang di dekat pantinya. Meski besok ia masih harus melanjutkan sekolah sekaligus mempersiapkan diri untuk olimpiadenya, Rei tetap harus bekerja. Demi dia, dan demi adik-adik pantinya.

Gadis itu menyikap gorden yang digunakan sebagai penutup ruang ganti, berjalan canggung kearah meja kasir dan duduk menunggu hidangan siap untuk ia antarkan ke meja pelanggan.

Suara bel pintu resto berbunyi secara tiba-tiba, membuat Rei sedikit terperanjat namun tetap melirik dengan pasti siapa yang baru saja masuk kedalam resto. Rei berdiri membeku di tempatnya, matanya masih tertuju pada pintu restoran yang baru saja dilalui oleh dua sosok yang begitu familiar.

Dua sosok yang tak asing itu melangkah masuk, sementara Rei terus menatap, memperhatikan wajah-wajah yang pernah ia temui tempo hari di tempat ini. Kay, yang ia tahu notabenenya adalah kekasih Cikal, kini berjalan berdampingan dengan Roneo, tertawa dengan begitu akrab dan nyaman.

Keterkejutan mengalir dalam diri Rei, menenggelamkan pikiran sejenak. Bagaimana bisa? Rei bertanya dalam hati, pandangannya tak lepas dari dua orang itu. Kenyataan yang tampak di depan matanya begitu bertentangan dengan apa yang ia ketahui. Rei merasa ada yang tak beres, tapi perkataan Cikal saat itu juga menjadi pagar pembatas bagi Rei yang mulai berpikir curiga. Cikal bilang, Kay dan Roneo hanya teman.

Tapi...

"Rei, kamu antar ini ke meja nomor dua ya." Mbak Sri muncul dari bilik dapur, membawa satu nampan berisikan pesanan milik pelanggan.

Rei dengan cepat beranjak, menepis jauh-jauh pikirannya tentang hubungan Kay dan Roneo. Lagipula itu bukan urusannya, jadi Rei rasa ia tidak perlu ikut campur lebih jauh mengenai itu. Maka dengan hati-hati dibawanya nampan tersebut ke meja pelanggan, mulai fokus bekerja tanpa memedulikan dua orang yang kini sedang duduk di pojok ruangan.

"Ini pesanan ke meja nomor berapa, Mbak?" tanya Rei, setelah melihat ada nampan baru berisikan dua mangkuk ramen diatas meja pesanan saat ia kembali.

Mbak Sri menoleh, "Itu ke meja delapan ya."

Rei memejamkan mata. Sebenarnya dia terlalu malas untuk menghadapi Kay dan Roneo seperti tempo hari. Dia tidak punya energi untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan tidak penting dari Kay yang terasa sangat basi. Tapi karena ini adalah pekerjaannya, mau tak mau Rei tetap harus menghantarkan pesanan ke meja mereka.

Dengan langkah yang canggung gadis itu berjalan mendekat kearah meja nomor delapan. Tempat dimana Kay dan Roneo duduk. Gadis itu mengukir senyum tipis seraya menyajikan makanannya diatas meja.

Kay menyambut dengan hangat. Matanya berbinar kala bertatapan dengan netra dingin milik Rei. Gadis cantik itu tersenyum dengan pipi yang merona seperti hari-hari sebelumnya.

"Kamu kerja disini setiap hari?" tanya Kay dengan ramah, dibalas anggukan oleh Rei. "Hebat ya kamu, bisa sambilan padahal sekolah di SHS aja udah sibuk banget."

"Selamat menikmati ya, Kak."

"Iya. Makasih ya."

Dengan cepat Rei kembali ke tempatnya. Tidak mau berlama-lama menghadapi gadis yang katanya kekasih Cikal itu. Namun tak berselang lama, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk membuatnya dengan cepat merogoh saku apron.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang