23. Kakak?

126 11 2
                                    

"Sumpah Jen, gue nggak bohong. Gue liat dengan mata kepala gue sendiri, di foto itu ada Debaros. Tapi wajahnya mirip banget sama Rei. Bisa aja kan Rei adiknya Debaros?"

Rajendra mendengus, menghentikan langkahnya kemudian berbalik menatap Cikal. "Tapi pada kenyataannya Debaros bukan siapa-siapanya Rei. Jadi stop bikin gue pusing."

Grivos memang sudah mundur. Mereka kembali ke markas setelah sadar bahwa rencana mereka sudah diketahui oleh Debaros dan gengnya. Terlalu berisiko bagi mereka untuk tetap maju tanpa rencana lain, karena bisa saja Debaros menjebak Grivos agar terperangkap di markas mereka. Bisa habis Grivos kalau sampai itu terjadi.

Ketujuh inti kini berkumpul di ruangan khusus. Ruangan dimana hanya mereka bertujuh yang bisa masuk. Sementara anggota yang lain ada di luar, mengobati luka-luka yang mereka dapat dari pukulan kayu pion-pion milik Debaros.

Rajendra menghembuskan napasnya kasar, mendudukkan diri di salah satu sofa sembari mengusap wajahnya penuh frustasi. Keenam lainnya pun sama, mereka kalut dalam pikiran masing-masing. Bahkan Cikal, merasa kacau memikirkan apa yang ia lihat di markas Debaros tadi.

Pantas saja ketika ia melihat Rei, ia merasa tak asing. Ternyata gadis itu sangat mirip dengan Debaros. Mata elangnya, sampai cara gadis itu tersenyum. Benar-benar mirip.

"Kita nggak bisa gini terus, Jen." Juangga, si panglima tempur melempar protes. Habis sudah harga dirinya karena dipaksa mundur di pertarungan tadi.

"Gue tahu. Tapi kalau tadi kita lanjut, gue yakin kita bisa habis di tangan Debaros."

"Terus kenapa kata lo Debaros tahu rencana kita buat nyerang dia malem ini?" kini Mark bertanya. Sebagai yang paling tua disini, Mark rasa ia harus jadi penengah meski ia sendiri juga ragu. Melihat bagaimana Rajendra kini sedang benar-benar frustasi membuatnya merasa harus jadi dewasa.

"Karena dia nggak ada di markasnya."

"Tapi bisa jadi 'kan, dia emang dari awal udah nggak di markas pas tadi kita nyerang?"

"Nggak mungkin Wa. Dia selalu di markas setiap jam segitu."

"Darimana lo tau?"

Pertanyaan Cikal membuat Rajendra menatapnya datar. Cikal tahu, emosi Rajendra sedang benar-benar tidak stabil. Tapi Cikal juga harus tahu, alasan kenapa Rajendra begitu gelisah sedari sore.

"Karena itu adalah waktu yang sama, pas dia ditangkap di markasnya dulu."

"Kalau gitu kita atur rencana lagi. Lo tenang Jen, kalian juga Kal, Ju. Kita nggak bisa mikir kalau dengan kepala yang panas gini." Mark menengahi.

Cukup lama bagi mereka untuk mencari ketenangan masing-masing. Dua puluh menit berlalu, baru lah Rajendra beranjak dari tempat duduknya. Menatap satu persatu teman-temannya, kali ini dengan raut lebih tenang.

"Sorry karena serangan kita malam ini gagal, dan harus mundur gitu aja. Gue sadar kalau gue terlalu panik tadi, gue takut kalian kenapa-kenapa."

Juangga ikut berdiri, mengambil posisi disamping Rajendra dan menepuk pelan pundak laki-laki itu. "Gue juga minta maaf karena udah marah sama lo, tadinya gue ngerasa bahwa harga diri gue udah habis karena kita mundur gitu aja. Tapi gue sadar lo pasti ngelakuin ini juga untuk ngelindungin kita semua."

Rajendra mengangguk. Mata tajamnya kini terlihat lebih sayu, menandakan laki-laki itu sudah cukup lelah.

"Gue juga mau minta maaf sama lo, Kal. Mungkin lo udah nggak enak sama gue semenjak tadi sore di sekolah, pas gue minta lo untuk gak ikut penyerangan malam ini." Rajendra menatap Cikal. "Itu karena gue khawatir akan kondisi kesehatan lo. Lo belum terlalu sehat, dan gue takut lo tumbang. Apalagi lo mau ikut olimpiade... belajar lo pasti butuh waktu lebih banyak."

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang