48. Di Ambang Karam

233 11 0
                                    

"Apa rencana lo?"

Juangga menoleh ketika Rajendra tiba-tiba membuka percakapan ditengah suasana malam yang sunyi. Keduanya sedang berada diluar markas, duduk santai menikmati sebatang rokok -hanya Juangga, sebab Rajendra tidak merokok.

"Rencana apa?" Setelah menghisap rokok ditangannya kuat-kuat , si laki-laki berotot itu mematikan rokoknya. Beralih mengambil sebotol air mineral untuk ia tenggak sampai habis.

"Rencana lo, perihal Debaros."

"Jelas gue masih mau nyerang dia."

"Di situasi yang gak memungkinkan kayak gini, lo yakin bisa handle anak-anak?" Rajendra menatapnya, mencari kejelasan dan raut keyakinan pada wajah Juangga yang berahang tegas.

Sementara yang ditatap mengangguk yakin. Dia sudah jelas punya rencana untuk penyerangan Debaros. Kali ini lebih terstruktur, hingga kecil kemungkinannya untuk Debaros kabur pada saat penyerangan.

"Kalau gitu lo pimpin penyerangan. Gue nggak akan ikut-ikutan dulu. Gue percaya sama lo, jadi gue harap lo nggak ngecewain gue."

Perkataan Rajendra sukses membuat mata Juangga membulat sempurna. Bagaimana tidak? Juangga, si panglima diberi mandat untuk memimpin penyerangan oleh ketuanya sendiri?

"Apaan sih Jen? nggak mau gue." Tolak Juangga mentah-mentah. Ia jelas tidak suka dengan ide bodoh Rajendra. "Lo harus ikut, masa kita turun tanpa ada lo sih?!"

"Gue harus jagain Cikal disini, Ju. Dia juga anggota gue, dia masih termasuk tanggungjawab gue. Dan situasinya sekarang... gue rasa keselamatan dia prioritas buat gue. Nggak, sebenernya buat kita semua."

"Ya tap-"

"Kenapa harus khawatirin gue? Gue bukan anak kecil lagi yang harus lo pada jaga."

Keduanya sontak menoleh kepada sumber suara lain yang baru saja bergabung. Ada Cikal di mulut pintu, sibuk menyalakan rokoknya dengan api dari bensin. Tubuhnya kurus bahkan dalam waktu beberapa hari. Seluruh permukaan kulitnya nyaris hancur karena ulahnya yang kerap menyakiti diri sendiri. Cara bicara, cara berjalan, cara dari laki-laki itu bertindak benar-benar seperti orang bodoh. Tanpa arah dan tujuan. Begitu larut dalam kubangan kebingungan.

"Kal, gue -"

"Lagian, emangnya gue bisa diem aja kalau kalian mau nyerang Debaros? Nggak. Gue pasti ikut karena kalian temen-temen gue." Lanjut Cikal, menyandarkan punggung lebarnya pada mulut pintu yang lebar. Mencari posisi berdiri yang nyaman untuknya.

Rajendra menghela napas, menatap jalanan lengang didepannya dengan nanar. "Gue nggak bisa ngizinin lo ikut Kal, terlalu berisiko buat lo kenapa-kenapa disamping kondisi lo yang lagi nggak stabil."

Cikal terkekeh kecil. Lebih mirip tertawa sumbang khas orang yang sedang linglung. "Lo tenang aja, urusan yang gini gue masih waras."

"Tapi Rajendra ada benernya, lo mending istirahat dulu dan-"

"Gue ikut, Ju. Lagian gue butuh pelampiasan dari rasa sakit gue ini, gue butuh sesuatu buat nyalurin amarah gue. Dan tempat paling tepat, ya di markasnya Debaros sialan itu."

Rajendra mengangguk, setelah menatap Juangga kini pandangannya beralih kepada Cikal. "Gue nggak ngizinin lo buat turun sekarang, tapi, kalau emang lo bisa buktiin bahwa setelah ini lo keluar dari lingkup setan ini, lo boleh ikut."

"Maksud lo?"

"Ya, pulang. Stop sama pelarian sia-sia lo ini dan pulang ke rumah. Keluarga lo pasti nunggu lo."

.
.


Butuh waktu kurang lebih satu minggu bagi Grivos untuk menyiapkan penyerangan untuk Debaros. Sudah satu minggu lebih pula Cikal pergi dari rumahnya dan hanya hidup di markas dengan teman-temannya.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang