38. Resonansi Perasaan

68 7 0
                                    

Cikal berdiri di depan pintu kamar rumah sakit, menatap melalui jendela kaca kecil yang memperlihatkan Rei dan Shaluna di dalam. Rei duduk di sisi tempat tidur Shaluna, memegang tangannya dengan penuh perhatian. Di sudut ruangan, beberapa peralatan medis berdengung pelan, menambah nuansa hening yang mendalam. Bagja, berdiri di sampingnya, diam sejenak sebelum memulai percakapan.

"Kalau saja tadi kamu nggak ngebawa Rei kesini, mungkin aja Ayah marah karena kamu pulang terlambat," ujar Bagja dengan suara rendah penuh akan penekanan. Cikal menoleh, matanya bertemu dengan pandangan serius ayahnya. Dia tahu betul betapa ayahnya sangat mementingkan ketepatan waktu disaat-saat seperti ini, terutama keadaan Shaluna yang semakin menurun setiap harinya.

Cikal menarik napas dalam, mencoba meredam emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. "Cikal tau, Yah. Makanya Cikal bawa Rei kesini untuk ngebuat Shaluna seneng juga."

Bagja mengangguk pelan, langkah tegasnya membawa ia dan Cikal untuk duduk di kursi lorong rumah sakit yang akhir-akhir ini menjadi pemandangannya setiap malam. Mata Bagja menatap kosong kearah ubin rumah sakit yang terasa dingin. Begitupun dengan Cikal yang larut dalam pikirannya sendiri meski kini ia duduk tepat disamping sang Ayah.

"Kamu tau, kenapa ayah sangat keras sama kamu, Cikal?"

Cikal tersenyum tipis, merasakan beban di pundaknya semakin memberat di setiap detik yang berlalu. Membiarkan sebilah pisau yang entah datang dari mana kembali menyayat hatinya yang rapuh termakan waktu.

"Karena Cikal anak yang nggak pernah diinginkan Ayah sama Ibun, kan? Cikal tau, kehadiran Cikal hanya jadi penghambat mimpi-mimpi kalian dulu."

Pandangan Ayahnya beralih pada Cikal, melihat bagaimana anak sulungnya meratapi nasib dengan wajah yang kian memburam. Bagja menghela napas, tersenyum miris karena keadaan yang begitu menekannya untuk menangis.

"Lebih dari itu Ayah ingin kamu melanjutkan mimpi-mimpi Ayah yang sempat tertunda dulu, Cikal."

"Makanya Ayah ambisius ingin Cikal jadi anak yang pintar sesuai dengan ekspektasi kalian berdua?" menghela napas, matanya kini menatap sang Ayah dengan berani. "Hubungan keluarga bukan cuma soal darah, tapi tentang siapa yang selalu ada untuk kita, Yah. Selama ini, apa Ayah pernah ada untuk Cikal? apa Ayah pernah memerankan peran sebagai Ayah yang selayaknya untuk Cikal dan Shaluna? nggak. Ayah nggak pernah. Ayah selalu datang untuk mengungkit kesalahan-kesalahan yang Cikal lakuin ketimbang untuk mengapresiasi apa yang sudah Cikal raih."

"Salah kalau Ayah ingin kamu mewujudkan mimpi Ayah yang dulu sempat tertunda karena kehadiran kamu?"

"Lalu bagaimana dengan mimpi Cikal, Yah?"

Bagja tertegun. Pandangannya jatuh menatap sepasang sepatu kulit yang kini membalut kakinya dengan sangat rapi. Tak ada yang bisa ia ucapkan lagi karena mendadak lidahnya kelu. Matanya ikut memburam, berderai air mata yang siap turun kapan saja. Namun tidak, Bagja tetap tidak akan menangis karena terlihat lemah di depan sulungnya bukanlah pilihan yang bagus.

Melihat reaksi sang Ayah yang malah membeku membuat Cikal tertawa nanar. Semakin merutuki hidupnya yang penuh akan ambisi orang-orang disekitar, sampai mimpinya entah terbawa arus sampai kemana. Sampai mimpinya bahkan hilang tertelan derasnya ambisi yang ada.

Laki-laki itu beranjak, memilih untuk melangkah masuk ke dalam kamar Shaluna ketimbang harus melanjutkan percakapannya dengan sang Ayah. Berlama-lama disisi Ayahnya hanya membuat Cikal merasa jadi anak durhaka paling bodoh di dunia.

Sementara Bagja hanya bisa menatap punggung Cikal yang menjauh. Tanpa berniat mengucap sepatah kata pun untuk menahan anaknya agar tidak beranjak pergi meninggalkan percakapan yang masih menggantung di langit-langit lorong rumah sakit.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang