33. Rumah

124 8 2
                                    

Hari beranjak senja, waktu seakan berlari cepat tanpa henti. Di kamar rumah sakit yang sunyi hanya ada Cikal dan Shaluna, ditemani oleh keheningan yang melingkupi. Cahaya matahari sore yang lembut menembus tirai, menciptakan bayangan-bayangan lembut di dinding.

Shaluna terbaring tenang, tertidur dalam rasa sakit seperti saat-saat sebelumnya, wajah pucatnya tampak begitu cantik di bawah sorot sinar jingga yang menyelimuti ruangan. Di sudut lain, Cikal duduk dengan ponselnya, tenggelam dalam dunia permainan dengan jari-jarinya yang bergerak lincah diatas layar ponsel.

Hanya ada suara napas lembut Shaluna yang berpadu dengan ketukan pelan jemari Cikal di layar ponselnya. Senja yang hening ini mengantar mereka ke dalam momen kontemplasi, seakan waktu berhenti sejenak dan memberi ruang bagi mereka untuk menunggu harapan baru pada setiap detik yang mereka lalui.

Perlahan pintu ruangan dibuka oleh seseorang diluar, berhasil menarik atensi Cikal yang reflek berdiri ketika sorot matanya bertemu dengan mata kecokelatan milik si cantik yang ia rindukan. Gadis itu tersenyum manis, berdiri didepan pintu bersama dengan satu keranjang buah-buahan ditangannya.

"Sendiri kesini?" Cikal masih menatap tak percaya, menyambut kekasihnya yang baru saja tiba.

Kay mengangguk, menaruh keranjang buah diatas nakas dengan sangat hati-hati. "Diluar mau gak? biar Luna nggak bangun."

Cikal mengangguk. Laki-laki itu menaruh ponselnya kemudian meraih tangan si gadis. Menggandengnya untuk keluar dari kamar rawat Shaluna dan duduk di kursi lorong rumah sakit.

"Aku tau dari Nathan. Katanya adik kamu di rawat di rumah sakit ini, jadi aku nyusulin karena aku pengen ketemu kamu." Shaluna menatap lekat, tangannya menggenggam erat tangan Cikal yang mendingin. "Kamu kurusan, nggak makan yang bener ya Kal?"

"Kamu nggak bilang mau kesini," Cikal mengulas senyum tipis. Sebenarnya jauh dari itu, Cikal kini sedang sibuk menetralkan degup jantungnya yang begitu porak poranda. Beberapa hari tak bertemu kasihnya secara langsung membuat Cikal sadar bahwa Kanaya memang semakin bertambah cantik setiap detiknya. Dewinya itu terlihat sangat amat sempurna dengan rambut kecokelatan yang dibiarkan terurai. Juga jepit merah muda yang menghiasi beberapa sisi rambutnya. Benar-benar manis.

"Sedih banget, udah lama gak ketemu sama dia, sekalinya ada kesempatan malah pas Luna sakit begini." kata Kay dengan suara pelan.

Cikal menggeleng. "Gak apa-apa kok. Oh iya, kamu sendiri kesini? bawa mobil?" tanya Cikal, merasa bahwa tak ada seorangpun yang mengantar gadisnya sampai kesini.

Kay tersenyum, kemudian menggeleng. "Aku sama Roneo. Dia tunggu di parkiran."

"Roneo?"

"Iya..." menyadari bahwa ekspresi Cikal berubah, Kay lantas mengangkat jemarinya untuk merapikan rambut Cikal dengan lembut. Berniat membujuk agar laki-laki itu tidak diselimuti kecemburuan akan Roneo. "...dia cuma temen aku, sayang."

"Kenapa gak dibawa naik ke sini aja?"

"Dia takut ganggu. Lagian dia ngga punya sangkut paut apapun sama hubungan kita. Jadi ngapain ngikut sampai kesini?" Kay masih merapikan rambut kekasihnya, menyisir anak rambut di atas dahi Cikal dengan sebaik mungkin. "Kamu rambutnya udah panjang loh ini, Kal. Nggak mau potong aja?"

Saat tatapannya jatuh dari rambut ke mata, saat itu juga netranya menangkap sorot mata Cikal yang tengah menatapnya dengan teduh. Begitu hangat sampai rasanya degup jantung Kay berdetak lebih kencang dari biasanya. Sampai rasanya begitu nyaman saat ia berlama-lama membalas tatapan itu.

"Apa, sayangku?" tanya Kay, final.

Namun bukan jawaban yang keluar dari mulut Cikal, laki-laki itu malah memeluk gadisnya dengan sangat erat. Napasnya begitu memburu seolah ia takut kehilangan gadis didepannya itu. Seolah ini adalah pelukan terakhir untuk mereka.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang