"Lama banget sih lo anjir. Dari mana aja?" Rei berbisik, melempar tatapan tajam kepada Cikal yang baru saja menyelinap masuk ke ruangan belajar diam-diam.
Laki-laki itu berdecak, membuka buku latihan soalnya dan ikut memperhatikan Bu Anna yang sedang menjelaskan materi di depan ruangan. "Pacaran dulu lah, emangnya lo, jomblo?"
Pernyataan Cikal sukses membuat Rei menghela napas kasar. Sejenak ia lupa kalau laki-laki disebelahnya ini memang sudah punya prioritas lain yang mungkin saja lebih penting dibanding ini. Ada sekelumit rasa kecewa, namun masih tertutup oleh rasa kesal yang menjadi-jadi.
"Asal lo tau, gue kena omel Bu Anna tadi gegara gak datang sama lo." ucapnya dengan nada sinis. Mengingat bagaimana Bu Anna menegurnya karena dinilai tidak akur dengan Cikal. Padahal Rei sudah mencari laki-laki itu kemana-mana, bahkan meneleponnya puluhan kali. Tapi pada kenyataannya laki-laki itu malah sibuk bermesraan dengan kekasihnya.
"Yaudah sih kan udah juga. Yang penting sekarang gue udah ada disini."
Di dalam kelas yang sunyi, hanya diiringi oleh suara gemericik pendingin ruangan, Rei dan Cikal duduk bersebelahan, akhirnya tenggelam dalam penjelasan materi kimia dari Bu Anna. Sorot mata Cikal hari ini berbeda, lebih dalam dan penuh konsentrasi. Dulu, dia lebih sering terhanyut oleh hal-hal sepele, namun kini pandangannya terpaku pada papan tulis, mencatat setiap kata yang meluncur dari bibir Bu Anna.
Sesekali, Rei mencuri pandang ke arah Cikal, mengamati dengan penuh rasa campur aduk akan perubahan yang terjadi pada laki-laki yang diam-diam ia kagumi. Ada perubahan signifikan dari cara laki-laki itu duduk, cara dia menggenggam pena, bahkan sampai kerutan halus di keningnya saat berusaha merangkai konsep-konsep kimia yang rumit. Rei sadari bahwa Cikal sekarang sudah jauh berbeda. Senyum tipis menghiasi bibir Rei, hati kecilnya berbunga melihat perkembangan Cikal yang kini lebih fokus dan bertanggung jawab terhadap pelajarannya.
Rei berusaha keras untuk tetap memusatkan perhatian pada penjelasan Bu Anna, namun pikirannya terus terbang ke arah Cikal. Setiap kali Cikal mengangguk paham atau menulis sesuatu di bukunya, detak jantung Rei terasa semakin cepat.
Yang perhatikan pun sama. Cikal sebenarnya menyadari bahwa Rei sedari tadi memperhatikannya dengan seksama. Namun dia tak mau ambil pusing, toh, dia kesini untuk belajar.
Selesai menjelaskan materi, Bu Anna menutup buku catatannya dan berkata, "Baiklah, anak-anak. Sekarang, buka buku latihan kalian di halaman 127 dan coba kerjakan soal-soal yang ada di sana. Ibu harus keluar sebentar karena ada urusan mendadak. Jangan khawatir, ibu nggak akan lama."
"Baik Bu."
Bu Anna kemudian meninggalkan ruangan, meninggalkan kedua muridnya untuk mengerjakan latihan soal. Ruangan itu hening sejenak, hanya terdengar suara gesekan pena di atas kertas.
Rei mencuri pandang ke arah Cikal yang terlihat serius mengerjakan soal-soal di depannya. Namun tanpa ia sadari Cikal yang sedari tadi tahu kelakuannya kini sudah menaruh penanya diatas meja. Menoleh untuk menangkap basah kedua sorot legam Rei yang masih memandangi Cikal.
"Kenapa sih liatin gue mulu? suka lo sama gue?"
Rei yang merasa ketahuan dengan cepat memasang ekspresi jijik. Gadis itu merotasikan matanya dengan malas. "Najis banget gue suka sama lo."
"Yaudah kalau gitu ngerjain, jangan liatin gue mulu. Merinding gue ditatap sama Nyi Blorong kayak lo."
"Ck! gue cuma bilang makasih! adek gue suka banget sama cat air yang lo beliin buat dia kemaren. Udah sih itu aja."
"Syukur deh," Cikal mengangguk. "Seenggaknya gue seneng kalau dia suka sama cat air itu."
"Adek lo gimana? sehat?" percakapannya mulai mengalir. Rei kini sudah mengambil pensilnya untuk mengisi beberapa soal di dalam buku. Begitupun dengan Cikal yang melanjutkan catatannya dengan pena.
KAMU SEDANG MEMBACA
SULUNG
Teen Fiction"Hidup bukan cuma tentang adek lo. Hidup lo, ya lo sendiri pemeran utamanya Kal." "Nggak bisa. Kata Ayah sama Ibun gue harus selalu ngutamain adek gue kalau mau jadi kakak yang baik." "Kal, nyerah ya?" . . . ©® kfor54, ay. best rank : • 1 in #haecha...