44. Sastra dan Rasa

158 10 1
                                    

Kemenangan pertamanya berhasil ia bawa pulang sampai ke rumah sakit. Laki-laki ceria itu menaruh medalinya di dalam ransel, melindungi benda impiannya itu sebaik mungkin dari segala kemungkinan akan kerusakan.

Tepat pukul lima sore, Cikal masuk ke kamar rawat inap Shaluna dengan senyum sumringah. Membuat seseorang diatas brankar yang tengah membaca buku latihan soal tertarik atensinya pada siapa yang baru saja masuk dan menebar senyum.

"Kenapa lo senyum-senyum? jadi gila lo karena kalah?" tanya Luna, sedikit mengulum senyum melihat tingkah kakaknya yang lebih mirip badut lampu merah dibanding dengan orang yang baru pulang olimpiade.

Cikal mendudukan dirinya diatas sofa dengan bangga. Lalu mengeluarkan sebuah medali emas beserta sertifikat atas nama dirinya sebagai pemenang juara satu olimpiade kimia tahun ini.

"Siapa bilang gue kalah?" katanya bangga, memamerkan pencapaian pertamanya kepada sang adik. "Keren kan, gue?"

"Tadi pagi aja, takut kalah takut kalah. Sekarang aja, cengar-cengir kan lo menang?" Shaluna tersenyum. Ada rasa senang dan bangga dalam hatinya, namun gadis itu memilih untuk menyembunyikan segala bentuk antusiasmenya sendirian. "Apa gue bilang, lo cuma butuh belajar."

"Iya sih, kalau gue kayak gini dari dulu, mungkin Ayah sama Ibun udah bangga banget kali ya sama gue? Sama kayak mereka bangga sama lo."

Shaluna mengangguk. "Setidaknya kalau nanti gue mati, Ayah sama Ibun masih bisa punya anak yang mereka banggain. Yaitu lo. Jadi gue bisa mati dengan tenang."

"Ngaco banget itu mulut, belajar dari mana?" Cikal menatap tak suka. "Lo bakal sembuh, kita bakal jadi anak yang di banggain Ayah dan Ibun bareng-bareng. Nggak ada yang mati."

"Ya, semoga aja sih ya?"

Gadis itu menghela napas. Lelah melihat optimisme kakaknya yang begitu percaya bahwa ia akan selamat dari penyakit kerasnya. Padahal, Shaluna sendiri sudah menerima kondisi fisiknya. Ia sudah berlapang, jika memang pada akhirnya harus pergi meninggalkan segala pencapaian-pencapaian yang ada. Termasuk pergi meninggalkan orangtuanya dan Cikal yang amat ia sayangi.

"Terus gimana? Lo udah kasih tau Ayah sama Ibun kan, soal ini?" Shaluna akhirnya membelokkan topik. Enggan berlama-lama larut akan rasa sedih yang selama ini sudah mendekam pada jiwanya.

Cikal menggeleng, laki-laki itu memasukan kembali bukti kerja kerasnya kedalam ransel. Menaruh barang itu baik-baik hingga tak ada satupun orang bisa melihatnya lagi.

"Gue masih bingung gimana cara ngasih taunya." katanya, putus asa.

Gadis berwajah pucat itu terkekeh kecil. "Tadi gue denger dari Ibun, Ayah bakal pulang ke rumah malam ini. Kenapa lo nggak coba kasih tau Ayah dulu, di rumah? terus besok, lo tinggal kasih tau Ibun kalau Ibun udah selesai shift."

"Nggak. Malem ini gue disini. Nemenin lo." tolak Cikal mentah.

Namun gadis dihadapannya menggeleng. "Nggak mau ah gue kalau jadi alasan lo buat nggak balik terus. Lo gak liat seragam sama sepatu lo udah kayak gembel gitu? balik sana. Lo berminggu-minggu disini, ngurusin gue tapi lupa ngurusin diri lo sendiri. Gue gak suka liatnya."

Si Sulung menghembuskan napas berat. Benar juga. Fokus mengurus Shaluna membuatnya lupa untuk memperhatikan dirinya sendiri. Bahkan untuk sekedar berpakaian rapi saja, Cikal sudah hampir tidak pernah. Baju-baju bahkan buku-bukunya pun, sudah nyaris berpindah semua ke rumah sakit.

"Balik Kal, istirahatin diri lo satu malem aja di rumah. Anggap ini reward buat lo yang udah berhasil hari ini."

"Terus lo?"

"Gue disini kan ada dokter sama suster yang ngurus. Ibun juga ada. Aman kok, gue janji kalau ada apa-apa gue pasti bakal langsung telepon lo." Luna meyakinkan.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang