50. Grivos dan Dukanya

430 25 7
                                    

Rajendra berjalan cepat di koridor rumah sakit, setiap langkahnya terasa berat, seakan udara di sekelilingnya menekan tubuhnya dari segala arah. Suara bising di sekitar seolah menghilang, hanya ada satu kalimat yang terus terngiang di benaknya, ucapan polisi yang baru saja ia dengar melalui telepon sebelum ia sampai kesini.

"Saudara Cikal mengalami kecelakaan tunggal. Beliau ditemukan dalam kondisi kritis di jalan dekat tikungan tajam. Motornya kehilangan kendali di jalanan yang licin..."

Kata-kata itu terus memutar dalam pikirannya, berulang-ulang seperti rekaman rusak yang tak mau berhenti. Rajendra memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan itu, tapi sia-sia. Suara itu tetap ada, menghantui setiap sudut pikirannya.

"Kondisinya kritis... Kami sudah mengirimnya ke rumah sakit terdekat. Keluarganya sudah diberitahu namun masih belum ada respons, tapi kami pikir anda juga perlu tahu, karena nomor anda adalah yang tertera sebagai nomor darurat dari saudara Cikal."

Jantung Rajendra seakan berdentum di telinganya. Ia bisa merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di rumah sakit begitu sejuk. Setiap kali memikirkan Cikal, bayangan sahabatnya yang tergeletak tak berdaya di jalanan yang gelap itu menghancurkan hatinya.

"Kami tidak tahu seberapa parah cederanya, tapi... ia kehilangan banyak darah. Kami dan pihak rumah sakit akan bekerjasama untuk melakukan yang terbaik."

Suara polisi itu begitu tenang, seolah sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Tapi bagi Rajendra, kalimat itu seperti hukuman. Ia merasa tercekik, terperangkap dalam situasi yang tak bisa ia kendalikan. Kenapa harus Cikal? Kenapa sekarang? Semua pertanyaan itu berputar tanpa henti dalam pikirannya, membuatnya semakin tertekan.

Saat Rajendra terus berjalan di koridor yang seakan tanpa ujung itu, ia merasakan kehadiran teman-temannya di belakangnya, mengikuti dengan raut wajah yang tak kalah khawatir. Tapi Rajendra tak bisa berbicara, tak bisa menghibur mereka atau bahkan dirinya sendiri. Satu-satunya yang ia bisa lakukan hanyalah terus melangkah, berharap saat ia sampai di ruang ICU, Cikal masih hidup, masih bisa ia ajak bicara, masih bisa ia jaga.

Namun, rasa takut itu terus menghantui. Bagaimana... bagaimana jika ia terlambat? Bagaimana jika ini terakhir kalinya ia mendengar suara Cikal? Gila. Rajendra rasanya mau mati.

Kabar kecelakaan Cikal sudah cukup menghancurkannya, bahkan setelah Debaros, musuh besar mereka yang selama ini menjadi bayang-bayang gelap di setiap langkah Grivos, akhirnya berhasil dibekuk oleh polisi saat pertempuran tadi. Si pengecut itu memang kabur dari tahanan beberapa waktu lalu dan sialnya malah menjadi ancaman besar bagi mereka. Namun, malam ini, perburuannya berakhir. Polisi berhasil menangkapnya saat ia mencoba melarikan diri dari pengawasan. Tidak hanya Debaros, tetapi juga beberapa anggota setianya yang telah menyerang anggota Grivos beberapa hari lalu, semuanya telah dijebloskan kembali ke penjara.

Hal ini disaksikan langsung oleh Rajendra dan Grivos Gang beberapa saat sebelum ia mendapat telepon tentang kecelakaan Cikal. Yang dimana harusnya mereka tersenyum kemenangan, tapi malah berakhir mengaduh pada tuhan.

Meskipun ancaman besar yang selama ini menghantui mereka telah sirna, Rajendra tidak bisa merasakan kelegaan sepenuhnya. Kemenangan melawan Debaros tidak berarti apa-apa jika Cikal, sahabat yang selama ini mereka jaga dengan sepenuh jiwa, kini berbaring tak berdaya, berjuang melawan maut.

Mark, yang biasanya penuh dengan strategi dan rencana untuk melindungi Grivos, kini hanya bisa terdiam, merasakan ketakutan yang sama dengan Rajendra. Juangga, yang selalu siap dengan kekuatannya untuk melawan siapa saja yang mengancam, kini hanya bisa mengepalkan tangan, menahan emosi yang berkecamuk di dadanya. Nakula dan Sadewa, yang biasanya tak pernah meninggalkan medan pertempuran, sekarang berjalan dengan kepala tertunduk, tidak bisa mengalihkan pikiran dari keadaan Cikal. Nathan, yang dikenal bisa menjadi orang yang paling tenang di antara mereka jika genting pun, kini hanya bisa menggertakkan giginya, mencoba menahan rasa putus asa yang terus menggerogoti pikirannya.

SULUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang