19

2.5K 215 3
                                    

Typo 🙏
HAPPY READING...!!!











Setelah mengakhiri panggilannya bersama Keenan, Shani kembali masuk ke ruangan Chika. Seperti apa yang Keenan perintahkan, Shani harus segera pulang. Meskipun dia juga tidak ingin meninggalkan Chika disana. Tapi dia juga harus menuruti permintaan Keenan.

"Mama, lama banget." Ucap Chika yang melihat kedatangan Shani. Begitupun dengan Veranda dan Cio. Shani sedikit berpikir bagaimana caranya dia bisa pergi dari sana tanpa Chika tau, atau setidaknya Chika tidak menangis saat Shani tinggalkan.
Cio yang melihat Shani sepertinya dia terlihat gugup setelah menerima telpon.

"Maaf ya tadi mama ada urusan sebentar sayang." Shani mendekati brankar Chika namun tidak duduk disana, karena ada Cio. Tanpa ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya, Cio mempersilahkan Shani untuk duduk disamping Chika, sedangkan dia berpindah di sofa.

"Makasih." Ucap Shani, dia masih terheran-heran, apakah itu benar Cio yang tadi menyuruhnya untuk menjauhi Chika? Tapi sekarang dia malah membiarkan Chika dekat dengannya. Tidak ada jawaban apapun yang Cio berikan pada Shani. Tapi dengan Cio seperti itu pun Shani sudah bahagia itu berarti dia bisa kembali dekat dengan Chika. Tapi sekarang yang menjadi permasalahannya adalah Keenan. Veranda hanya tersenyum lega, akhirnya nasihat yang dia berikan pada Cio itu tidak percuma.

"Sayang," panggil Shani pada Chika.

"Iya mah kenapa?" Tanya Chika.

"Mama boleh kan pulang sebentar, nanti mama kesini lagi." Ucap Shani ragu, dia harus mempersiapkan berbagai alasan agar Chika dapat mengijinkannya pergi. Cio menoleh sebentar pada Shani, rupanya seseorang yang tadi menghubungi Shani menyuruhnya untuk pulang.

"Mama mau kemana? Mama ga mau nemenin Chika disini? Mama udah ga sayang Chika lagi, kenapa mama pergi?" Tanya Chika tak henti pada Shani.

"Mama mau pulang dulu sebentar, mama mau ganti baju. Boleh ya? Nanti mama janji kesini lagi." Ucap Shani terus meyakinkan Chika.

"Kenapa ga papa aja yang bawa baju mama kesini?" Tanya Chika pada Cio. Mereka bertiga gugup seketika, terutama Cio jawaban apa yang harus dia berikan pada Chika.

"Papa tadi udah pulang, sekarang gantian mama yang pulang. Boleh ya?" Ucap Shani lagi.

"Biarin Tante Shani pulang dulu sayang."

"Tante? Ko papa manggil mama Tante?" Tanya Chika. Cio kembali dibuat gugup.

"E.. itu maksud papa..."

"Boleh ya sayang." Ucap Shani memotong perkataan Cio, dia tau Cio tidak akan memanggilnya dengan sebutan itu.

"Tapi mama harus kesini lagi. Mama ga boleh pergi." Chika terus menggenggam tangan Shani.

"Iya sayang mama janji, sebentar aja ko. Kamu mau dibawain apa sama mama?"

"Chika ga mau apa-apa mah, Chika mau mama cepet sampe disini." Tatapan mata coklat milik Chika itu sungguh indah, Shani tidak tega jika harus berbohong padanya. Tapi kalau dia masih disana bagaimana dengan Keenan yang menyuruhnya pulang dan resiko apa yang akan dia terima apabila tidak mengikuti perintah Keenan.

"Baik banget sii, anak cantiknya mama ini. Makasih ya sayang udah ngijinin mama pulang." Ucap Shani, dia terus mengelus kening Chika. Cio yang menyaksikan hal itu hatinya merasa hangat baru kali ini dia melihat Chika bahagia, tatapan Shani pada Chika selalu menyiratkan ketulusan hati Shani. Tatapan itu Cio kira hanya Anin yang saja yang punya, tapi ternyata Shani juga memiliki hal yang sama.

"Sayangnya Oma, tunggu dulu ya. Nanti mama juga pasti balik lagi kesini. Chika sama Oma sama papa dulu." Ucap Ve.

"Iya Oma."

"Pinter, gitu dong jangan nangis ya kalo mama pergi atau ga ada di samping kamu. Mama kan selalu ada disini." Ucap Shani sambil mengarahkan tangannya ke dada Chika.

"Sama disini mah." Chika meraih tangan Shani dan menempelkan ke kepalanya.

"Mama selalu ada di otak Chika dan akan terus kaya gitu sampai kapanpun mah..." Shani tersenyum pada Chika, dia sungguh tidak percaya anak sekecil Chika tapi dia harus di dewasa kan oleh keadaan. Dia harus melawan rasa sakit akan kehilangan dan melawan pikirannya sendiri.

"Iya sayang mama juga sama kaya kamu dek, makanya cepet sembuh ya." Dibalas anggukan Chika.

"Aku mau peluk mama dulu." Tanpa berkata-kata Shani langsung memeluk Chika yang terbaring. Veranda hanya menyaksikan interaksi mereka saja tanpa menggangu momen. Sementara Cio hanya fokus pada layar ponselnya, tapi telinganya dia pasang baik-baik untuk mendengarkan setiap obrolan Shani dan Chika. Cio tidak habis pikir dua orang yang baru saja saling kenal bisa sedekat itu layaknya ibu dan anak. Mungkin dipikiran Chika Shani itu adalah Anin yang memang dia rindukan selama ini.

"Mama pulang dulu ya, muachhh" Shani sekilas mencium kening Chika. Akhirnya Shani bisa pulang tanpa harus melihat Chika menangis.

"Hati-hati ya mah, papa ga nganterin mama?" Tanya Chika pada Cio.

"Mama bawa mobil sendiri sayang, kasian papa kamu kalo bolak balik kesini lagi." Jelas Shani. Chika mengangguk paham.

"Aku pulang dulu, Tan" pamit Shani pada Ve.

"Makasih ya kamu udah mau dateng." Ucap Ve.

"Gak papa Tan, kalo ada apa-apa Tante jangan sungkan hubungi aku."

"Iya Shan, maaf Tante ngerepotin." Shani menggelengkan kepalanya pelan.

"Dah sayang," pamit Shani pada Chika.

"Cepet kesini lagi ya mah..."

"Iya sayang, tunggu ya."

"Aku pulang dulu," ucap Shani pada Cio.

"Iya, makasih udah mau kesini." Ucap Cio dengan wajah datarnya.  Shani mengangguk dan keluar dari ruangan Chika.

Shani melihat kembali ponselnya, lagi dan lagi Anrez terus menghubunginya. Beberapa panggilan dan notifikasi pesan memenuhi room chat milik Shani.

"Kamu dimana? Aku chat ga di bales, aku telpon ga di angkat."

"Shan..."

"Shani... Aku ke rumah ya."

"Tadi aku udah bilang sama om Keenan mau ngajak kamu sekeluarga makan malam bersama di rumah aku."

"Shan, bales dong."

"Kamu lagi ngapain? Angkat telpon aku!"

"Shan..."

"Kalo kamu ga pulang, aku aduin kamu sama Om Keenan."

Begitulah kira-kira isi chat dari Anrez. Shani menghela nafasnya,  sungguh Anrez ini seperti anak kecil yang apa-apa selalu melibatkan orangtuanya. Dia tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri. Apakah laki-laki seperti ini yang papanya pilihkan untuk Shani? Sementara bukan itu yang Shani inginkan. Dulu usia Elvan memang masih muda bahkan dibilang masih remaja, tapi pemikirannya sudah dewasa. Dia sudah tau apa yang harus dia lakukan, dan mengerti bagaimana cara mencintai seorang wanita tidak seperti Anrez. Shani menginginkan sosok seperti Elvan hadir dalam hidupnya kembali, tapi kenyataannya itu tidak akan pernah terjadi dan mungkin akan sulit dia temui laki-laki seperti Elvan. Laki-laki yang selalu membuat Shani seolah menjadi ratu dalam kehidupannya, yang selalu mewarnai hari-hari Shani dengan berbagai macam sifatnya yang kadang humoris kadang juga romantis dua sifat itu selalu melekat pada diri Elvan. Dan itu membuat Shani nyaman ada di sampingnya, tapi takdir berkata lain mereka harus mengakhiri hubungan mereka dan berpisah dengan cara yang menyakitkan.










Hasil begadang, ga bisa tidur🤣
Padahal ni badan lagi ga bersahabat. Dan cerita ini pun ga punya draft🤧
Up nya kapan-kapan lagi ya😁✌️
Buat yang nungguin cerita ini, makasih dan maaf ya kalo lama up.
VOTE!!!
Makasih ❤️

BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang