Layla benci siapa saja yang menahannya untuk berada di sekolah lebih lama. Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, seharusnya ia sudah bersama sang kekasih, menonton film bersama di apartemennya.
Namun, dua orang pria berpakaian jas licin dan rambut ditata rapi, menghancurkan semua rencana Layla. Mereka datang tanpa janji, dan membuat Layla terpaksa menemuinya di ruang bimbingan murid ini.
"Apa ada yang bisa saya bantu, Pak?" Layla bertanya dengan sopan sambil mengeluarkan senyum bisnisnya. Itu senyum yang selalu ia pakai ketika berhadapan dengan wali murid.
"Oh, Nona Layla Sarasvati?" seorang pria yang memakai jas abu-abu menyapa Layla lebih dulu, dan mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, saya Diego Januerja, pengacara."
Layla juga menerima kartu nama dari pria bernama Diego itu. Dahinya mengernyit, untuk apa seorang pengacara menemuinya? Apa dia salah satu wali murid di pre-school ini?
"Dan ini—"
"Berhenti basa-basi, dan langsung saja bicara intinya." Seorang pria lain yang memakai jas hitam berbicara.
Tatapan pria itu jauh lebih dingin, meskipun terhalang kacamata berbingkai hitam. Rahangnya yang tegas tampak menegang, seolah sedang meredam emosi yang ditahannya di depan Layla.
Kenapa dia kelihatan marah sama aku? Layla berpikir dalam hati.
"Ada hubungan apa kamu dengan Opa?"
Layla mengerjap mendengar pertanyaan pria dingin itu. "Apa?"
"Ah, begini, Nona Layla—" Diego, si pengacara, mencoba untuk menengahi, tapi Layla sudah terlanjur tersulut emosi.
"Eh, Mas!" Layla balik menatap pria berjas hitam itu. "Sebenarnya kalian siapa? Datang-datang kok nuduh orang gak jelas? Lagian siapa opa Anda? Memangnya saya kenal?"
Layla semakin yakin kalau mereka bukan wali murid di sini. Tiga tahun pengalaman menjadi guru pre-school, Layla bisa tahu mana orang yang cocok dengan anak-anak, dan mana yang tidak. Dan dua pria ini—khususnya pria yang berjas hitam—bukan gambaran orang tua yang baik.
Pria berjas hitam itu mendengus. "Tidak usah berbohong. Saya sudah hafal tingkah wanita kayak kamu."
Diego tampak panik dan berulang kali menyenggol lengan pria itu. "A-Al sabar kenapa—"
"Kayak saya?!" pekik Layla. "Memangnya saya kayak apa?!"
"O-oke, sebentar!" Diego kembali menengahi ketika Layla hampir saja membalik meja di hadapannya. "Maaf sebelumnya, Nona Layla. Biar saya yang menjelaskan, boleh?" Diego kembali berbicara sambil melirik pria di sebelahnya.
Pria itu hanya mendengus dan membuang wajahnya. Layla bersumpah, ia ingin sekali melempar sepatu ketsnya ke wajah pria itu.
"Ini Aldimas Noah Mandrawoto, pimpinan MD Group, dan klien saya," Diego mulai menjelaskan.
Namun, Layla yang masih terbawa emosi, tidak terlalu memperhatikan ucapannya. Ia hanya menjawab ketus, "Terus?"
"Pak Aldimas ingin mendiskusikan sesuatu tentang surat wasiat yang ditulis Pak Hardian Mandrawoto dengan Anda—"
"Kamu simpanan Opa, ya kan?" Aldimas kembali memotong ucapan Diego dan menuduhnya.
"HAH?!" pekik Layla. "Ketemu aja belum, main asal tuduh!"
"Lantas, bisa kamu jelaskan kenapa nama kamu ada di surat wasiat?"
Semakin pria itu membuka mulut, semakin Layla tidak paham. Apa hubungan dirinya dengan wasiat keluarga Aldimas? Lagipula siapa Hardian Mandrawoto?
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Name of Marriage Contract
RomanceLayla sama sekali tidak paham, kenapa pria yang menuduhnya sebagai simpanan kakek-kakek, tiba-tiba menawarkan pernikahan kontak? Terlebih, pria ini selalu datang seperti dewa penyelamat setiap kali Layla terkena musibah. Mulai dari ketika ia mabuk d...